Tuesday, May 19, 2015

Apakah Terdakwa tidak boleh lolos dari jerat hukum ?



Menghadirkan Fakta Yang Benar
Jaksa Penuntut Umum selalu memulai pertanyaan kepada saksi dengan pertanyaan “apakah pernah diperiksa penyidik” dan “apakah menandatangani BAP”, serta “apakah keterangan yang di dalam BAP itu benar”. Kita semua paham bahwa keterangan yang bernilai secara hukum adalah keterangan yang diberikan di bawah sumpah di dalam persidangan. Karena itulah klarifikasi atas fitnah dan kebohongan di dalam BAP adalah penting di dalam persidangan ini.
Sementara itu klarifikasi untuk semakin mendalami keterangan saksi agar didapatkan keterangan yang otentik dan sesungguhnya adalah metode yang sahih di dalam pencarian kebenaran materiil di dalam persidangan. Mendalami dan mengklarifikasi keterangan saksi atas materi yang sama dan sudah ditanyakan Jaksa Penuntut Umum adalah bukan untuk mengulang-ngulang dan bertele-tele. Justru hal tersebut dilakukan untuk kontestasi yang adil dan berimbang di dalam mendalami keterangan saksi, sehingga dapat terungkap keterangan yang lengkap dan benar yang pada akhirnya diserahkan kepada Majelis Hakim untuk menilainya.
Justru kalau jawaban-jawaban saksi atas pertanyaan Jaksa Penuntut Umum yang sudah terarah berdasarkan BAP dan dipilih khusus untuk menjustifikasi dakwaan tidak di dalami lebih lanjut, maka malah berpotensi penyesatan fakta. Di dalam persidangan yang terhormat inilah selayaknya terjadi kontestasi yang adil dan terbuka, sehingga kebenaran fakta-fakta yang otentik dapat terungkap secara terang benderang. Keengganan untuk melakukan kontestasi dalam bertanya kepada para saksi dari berbagai sudut klarifikasi dan penjelasan justru mengundang pertanyaan tersendiri. Di dalam keawaman saya di bidang hukum, saya memahami persidangan adalah arena yang adil dan terbuka untuk kontestasi fakta-fakta secara lengkap dan gamblang sebagai jalan menemukan kebenaran materiil.
Korban Opini
Adalah rangkaian fakta yang tidak terbantahkan bahwa sejak tahun 2011, Terdakwa menjadi korban opini yang tujuannya adalah membangun persepsi tentang kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada kegiatan pengadaan kendaraan dinas Bupati. Persepsi ini dibangun secara sistematis, dalam waktu yang panjang, dilakukan secara bertalu-talu dan bergelombang. Bahwa seolah-olah benar Terdakwa merugikan negara ratusan juta atas kegiatan pengadaan tersebut.
Inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan sebagai tersangka, kemudian dikembangkan ke segala arah pada saat penyidikan dan kemudian akhirnya dibawa ke persidangan. Dalam proses persidangan itulah yang juga dipaksakan ke dalam dakwaan dan ujungnya ada di dalam Surat Tuntutan sesuatu yang bukan melanggar aturan dan kewenangan dan bukan juga merugikan negara, dipaksakan sebagai melanggar aturan dan kewenangan yang menyebabkan adanya kerugian negara, dan dimulai dengan cara membangun opini secara sistematis.
Dalam menegakkan hukum sebagai tujuan bersama, tentulah kita sama-sama bersandar kepada kebenaran (materiel warheid) yang terungkap dalam persidangan perkara ini, bukan hanya
sekedar mencari alat bukti belaka dibawah prinsip Terdakwa tidak boleh lolos dari jerat hukum.
Kualitas Keterangan Saksi S?
Adalah kewenangan dan hak Jaksa Penuntut Umum untuk percaya kepada kesaksian S atau percaya terpaksa karena menjadi satu-satunya cara untuk berusaha membuktikan dakwaan kepada Terdakwa. Adalah hak S untuk membuat keterangan-keterangan yang berisi fitnah, fiksi dan serangan-serangan tidak berdasar. Adalah hak S untuk memberikan keterangan di BAP dan di persidangan yang dilakukan dibawah sumpah, yang tidak mengandung nilai kebenaran. Juga adalah hak S untuk membuat skenario dan mengarahkan, untuk memberikan keterangan bohong tentang Terdakwa. Adalah hak S untuk membuat skenario dan menjalankan persekongkolan jahat untuk membuat Terdakwa dipaksa bersalah secara hukum. Tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Yang menjadi masalah adalah ketika keterangan dan kesaksian S otomatis dianggap sebagai kebenaran dan dianggap berkualitas karena dia adalah mantan anggota DPRD. Memandang seluruh kesaksian S sebagai kebenaran adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan.
Dalam perkara yang didakwakan kepada saya (Terdakwa) jelas sejak awal S berniat dan secara sadar menyusun serta menjalankan skenario agar saya masuk dalam pusaran kasus hukum. Niat jahat yang kemudian dijalankan inilah yang seharusnya dipertimbangkan di dalam menilai keterangan dan kesaksian S, baik yang dituangkan di dalam BAP maupun yang disampaikan di depan persidangan.
Apakah keterangan saksi yang sejak awal punya rencana untuk mencelakakan secara hukum dan kemudian rela untuk menjadi Pinokio demi memenuhi kemarahan dan dendamnya, atau demi melayani kepentingan tertentu, dapat dijadikan setara dengan “sabda” Nabi, atau keterangan saksi-saksi yang jujur dan tanpa agenda tersembunyi? Akal sehat kita dan nalar keadilan hukum mestinya menolak. Setidaknya bisa bersikap kritis dan sangat selektif dengan keterangan-keterangannya. Menelan mentah-mentah keterangan darinya hanya bisa dilakukan oleh pihak yang kepentingannya sama atau pihak yang tidak peduli dengan pentingnya kebenaran dan keadilan di dalam proses hukum.
Ketentuan di dalam KUHP menyatakan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan saksi harus sungguh-sungguh mempertimbangkan persesuaian dengan saksi-saksi lain, persesuaian dengan bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu dan cara hidup serta kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu untuk dipercaya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud disebutkan “tidak boleh menjadi saksi laki-laki dan perempuan yang khianat. Juga tidak boleh menjadi saksi orang yang menaruh dendam terhadap saudaranya”.
Di dalam tradisi Fikih Islam, bahkan untuk menjadi saksi pernikahan pun, bukan urusan pidana, harus memenuhi syarat baligh, berakal, merdeka, Islam dan adil. Kemampuan untuk adil atau setidaknya dinilai adil adalah syarat yang penting.
Sedangkan pada Tambo Alam Minangkabau disebutkan bahwa syarat menjadi saksi adalah bersifat arif, baligh-berakal, melihat, mendengar, berkata, terang hati dan adil, serta mempunyai alasan untuk menjadi saksi. 
Atas dasar itu semua kiranya bisa memperjelas bahwa menjadikan keterangan S sebagai dasar atau bahkan dasar utama untuk pembuktian dalam perkara saya (Terdakwa), adalah kesalahan serius dalam perspektif obyektifitas, kebenaran dan keadilan. Lain halnya jika perspektifnya untuk mencari dasar justifikasi untuk sekedar menghukum.
Adalah berlebihan, tidak berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan dan bahkan terlalu mewah untuk mengatakan, bahwa apa yang diucapkannya itu nanti, akan dipertanggungjawabkannya di Padang Mahsyar.
Karena itulah keterangan S yang diarahkan untuk membuat keterangan tidak benar tidaklah mempunyai nilai pembuktian yang layak. Justru jika keterangannya dijadikan dasar atau bahkan dasar utama dalam pembuktian perkara ini, peradilan bisa tersesat dan membelakangi spirit penegakan hukum dan keadilan. Keterangan sesat S biarlah menjadi sesat sendiri. Jangan sampai membuat kita semua tersesatkan.
Selama persidangan telah dihadirkan 26 orang saksi, yang terdiri dari saksi memberatkan, saksi meringankan, saksi ahli yang dihadirkan JPU dan saksi ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum. Secara rinci adalah sebagai berikut : 22 saksi memberatkan yang dihadirkan JPU, 1 saksi ahli yang dihadirkan JPU, 2 saksi meringankan yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum, serta 2 saksi ahli yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat Hukum.
Adalah wajar semata jika sebagian saksi yang dihadirkan JPU malah membantah dakwaan. Bukan karena saksinya dan bukan karena JPU, melainkan karena dakwaan disusun berdasarkan -terutama- BAP yang tidak mengandung nilai kebenaran. Keterangan para saksi di depan persidangan yang membantah dakwaan karena apa yang diketahui, didengar, dirasakan dan dilakukan para saksi berbeda dan bertentangan dengan dakwaan yang berasal dari imajinasi dan cerita fiksi S. Sehebat-hebatnya cerita fiksi dan secanggih-canggihnya imajinasi akan kalah dengan realitas yang senyatanya.

No comments:

Post a Comment