Menghadirkan Fakta Yang Benar
Jaksa Penuntut Umum selalu memulai pertanyaan kepada
saksi dengan pertanyaan “apakah pernah diperiksa penyidik” dan “apakah
menandatangani BAP”, serta “apakah keterangan yang di dalam BAP itu benar”.
Kita semua paham bahwa keterangan yang bernilai secara hukum adalah keterangan
yang diberikan di bawah sumpah di dalam persidangan. Karena itulah klarifikasi
atas fitnah dan kebohongan di dalam BAP adalah penting di dalam persidangan
ini.
Sementara itu klarifikasi untuk semakin mendalami
keterangan saksi agar didapatkan keterangan yang otentik dan sesungguhnya
adalah metode yang sahih di dalam pencarian kebenaran materiil di dalam
persidangan. Mendalami dan mengklarifikasi keterangan saksi atas materi yang
sama dan sudah ditanyakan Jaksa Penuntut Umum adalah bukan untuk
mengulang-ngulang dan bertele-tele. Justru hal tersebut dilakukan untuk
kontestasi yang adil dan berimbang di dalam mendalami keterangan saksi,
sehingga dapat terungkap keterangan yang lengkap dan benar yang pada akhirnya
diserahkan kepada Majelis Hakim untuk menilainya.
Justru kalau jawaban-jawaban saksi atas pertanyaan
Jaksa Penuntut Umum yang sudah terarah berdasarkan BAP dan dipilih khusus untuk
menjustifikasi dakwaan tidak di dalami lebih lanjut, maka malah berpotensi
penyesatan fakta. Di dalam persidangan yang terhormat inilah selayaknya terjadi
kontestasi yang adil dan terbuka, sehingga kebenaran fakta-fakta yang otentik
dapat terungkap secara terang benderang. Keengganan untuk melakukan kontestasi
dalam bertanya kepada para saksi dari berbagai sudut klarifikasi dan penjelasan
justru mengundang pertanyaan tersendiri. Di dalam keawaman saya di bidang
hukum, saya memahami persidangan adalah arena yang adil dan terbuka untuk
kontestasi fakta-fakta secara lengkap dan gamblang sebagai jalan menemukan
kebenaran materiil.
Korban Opini
Adalah rangkaian fakta yang tidak terbantahkan bahwa
sejak tahun 2011, Terdakwa menjadi korban opini yang tujuannya adalah membangun
persepsi tentang kejahatan korupsi yang dilakukan oleh Terdakwa pada kegiatan
pengadaan kendaraan dinas Bupati. Persepsi ini dibangun secara sistematis,
dalam waktu yang panjang, dilakukan secara bertalu-talu dan bergelombang. Bahwa
seolah-olah benar Terdakwa merugikan negara ratusan juta atas kegiatan
pengadaan tersebut.
Inilah yang kemudian menjadi dasar penetapan sebagai
tersangka, kemudian dikembangkan ke segala arah pada saat penyidikan dan
kemudian akhirnya dibawa ke persidangan. Dalam proses persidangan itulah yang
juga dipaksakan ke dalam dakwaan dan ujungnya ada di dalam Surat Tuntutan
sesuatu yang bukan melanggar aturan dan kewenangan dan bukan juga merugikan
negara, dipaksakan sebagai melanggar aturan dan kewenangan yang menyebabkan
adanya kerugian negara, dan dimulai dengan cara membangun opini secara
sistematis.
Dalam menegakkan hukum sebagai tujuan bersama,
tentulah kita sama-sama bersandar kepada kebenaran (materiel warheid) yang
terungkap dalam persidangan perkara ini, bukan hanya
sekedar
mencari alat bukti belaka dibawah prinsip Terdakwa tidak boleh lolos dari
jerat hukum.
Kualitas Keterangan Saksi S?
Adalah kewenangan dan hak Jaksa Penuntut Umum untuk
percaya kepada kesaksian S atau percaya terpaksa karena menjadi satu-satunya
cara untuk berusaha membuktikan dakwaan kepada Terdakwa. Adalah hak S untuk
membuat keterangan-keterangan yang berisi fitnah, fiksi dan serangan-serangan
tidak berdasar. Adalah hak S untuk memberikan keterangan di BAP dan di
persidangan yang dilakukan dibawah sumpah, yang tidak mengandung nilai
kebenaran. Juga adalah hak S untuk membuat skenario dan mengarahkan, untuk
memberikan keterangan bohong tentang Terdakwa. Adalah hak S untuk membuat
skenario dan menjalankan persekongkolan jahat untuk membuat Terdakwa dipaksa
bersalah secara hukum. Tidak ada yang perlu dipersoalkan.
Yang menjadi masalah adalah ketika keterangan dan
kesaksian S otomatis dianggap sebagai kebenaran dan dianggap berkualitas karena
dia adalah mantan anggota DPRD. Memandang seluruh kesaksian S sebagai kebenaran
adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan.
Dalam perkara yang didakwakan kepada saya (Terdakwa)
jelas sejak awal S berniat dan secara sadar menyusun serta menjalankan skenario
agar saya masuk dalam pusaran kasus hukum. Niat jahat yang kemudian dijalankan
inilah yang seharusnya dipertimbangkan di dalam menilai keterangan dan
kesaksian S, baik yang dituangkan di dalam BAP maupun yang disampaikan di depan
persidangan.
Apakah keterangan saksi yang sejak awal punya rencana
untuk mencelakakan secara hukum dan kemudian rela untuk menjadi Pinokio demi
memenuhi kemarahan dan dendamnya, atau demi melayani kepentingan tertentu,
dapat dijadikan setara dengan “sabda” Nabi, atau keterangan saksi-saksi yang
jujur dan tanpa agenda tersembunyi? Akal sehat kita dan nalar keadilan hukum
mestinya menolak. Setidaknya bisa bersikap kritis dan sangat selektif dengan
keterangan-keterangannya. Menelan mentah-mentah keterangan darinya hanya bisa
dilakukan oleh pihak yang kepentingannya sama atau pihak yang tidak peduli dengan
pentingnya kebenaran dan keadilan di dalam proses hukum.
Ketentuan di dalam KUHP menyatakan bahwa dalam
menilai kebenaran keterangan saksi harus sungguh-sungguh mempertimbangkan
persesuaian dengan saksi-saksi lain, persesuaian dengan bukti lain, alasan yang
mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu dan cara
hidup serta kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat
mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu untuk dipercaya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud
disebutkan “tidak boleh menjadi saksi laki-laki dan perempuan yang khianat.
Juga tidak boleh menjadi saksi orang yang menaruh dendam terhadap saudaranya”.
Di dalam tradisi Fikih Islam, bahkan untuk menjadi
saksi pernikahan pun, bukan urusan pidana, harus memenuhi syarat baligh,
berakal, merdeka, Islam dan adil. Kemampuan untuk adil atau setidaknya dinilai
adil adalah syarat yang penting.
Sedangkan pada Tambo Alam Minangkabau disebutkan
bahwa syarat menjadi saksi adalah bersifat arif, baligh-berakal, melihat,
mendengar, berkata, terang hati dan adil, serta mempunyai alasan untuk menjadi
saksi.
Atas
dasar itu semua kiranya bisa memperjelas bahwa menjadikan keterangan S sebagai
dasar atau bahkan dasar utama untuk pembuktian dalam perkara saya (Terdakwa),
adalah kesalahan serius dalam perspektif obyektifitas, kebenaran dan keadilan.
Lain halnya jika perspektifnya untuk mencari dasar justifikasi untuk sekedar
menghukum.
Adalah berlebihan, tidak berdasarkan data yang bisa
dipertanggungjawabkan dan bahkan terlalu mewah untuk mengatakan, bahwa apa yang
diucapkannya itu nanti, akan dipertanggungjawabkannya di Padang Mahsyar.
Karena itulah keterangan S yang diarahkan untuk
membuat keterangan tidak benar tidaklah mempunyai nilai pembuktian yang layak.
Justru jika keterangannya dijadikan dasar atau bahkan dasar utama dalam
pembuktian perkara ini, peradilan bisa tersesat dan membelakangi spirit
penegakan hukum dan keadilan. Keterangan sesat S biarlah menjadi sesat sendiri.
Jangan sampai membuat kita semua tersesatkan.
Selama persidangan telah dihadirkan 26 orang saksi,
yang terdiri dari saksi memberatkan, saksi meringankan, saksi ahli yang
dihadirkan JPU dan saksi ahli yang dihadirkan oleh Terdakwa dan Penasihat Hukum.
Secara rinci adalah sebagai berikut : 22 saksi memberatkan yang dihadirkan JPU,
1 saksi ahli yang dihadirkan JPU, 2 saksi meringankan yang dihadirkan Terdakwa
dan Penasihat Hukum, serta 2 saksi ahli yang dihadirkan Terdakwa dan Penasihat
Hukum.
Adalah wajar semata jika sebagian saksi yang
dihadirkan JPU malah membantah dakwaan. Bukan karena saksinya dan bukan karena
JPU, melainkan karena dakwaan disusun berdasarkan -terutama- BAP yang tidak
mengandung nilai kebenaran. Keterangan para saksi di depan persidangan yang
membantah dakwaan karena apa yang diketahui, didengar, dirasakan dan dilakukan
para saksi berbeda dan bertentangan dengan dakwaan yang berasal dari imajinasi
dan cerita fiksi S. Sehebat-hebatnya cerita fiksi dan secanggih-canggihnya
imajinasi akan kalah dengan realitas yang senyatanya.
No comments:
Post a Comment