Yang Mulia Majelis Hakim,
Yang Terhormat Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat
Hukum,
Hadirin yang saya hormati.
Saya mohon maaf kepada Majelis Hakim, kalau saya
terpaksa menyampaikan, bahwa mungkin bagi Majelis Hakim, ini adalah persidangan
perdana bagi majelis yang menyidangkan perkara yang imajiner. Kenapa saya
katakan imajiner ?
Yang pertama, karena sejak dari awal persidangan, kita digiring oleh JPU
dengan perbuatan yang menyalahi peraturan imajiner, perbuatan yang tidak
termasuk kedalam ranah yang diatur oleh Kepres No. 80 Tahun 2003 tentang
Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Serta Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Yang kedua, kita juga digiring dengan imajinasi saksi mantan anggota
DPRD, yang juga merupakan saksi pelapor dalam kasus ini, yang menginginkan
mobil Bupatinya adalah sama dengan mobilnya sendiri, yaitu Toyota Fortuner.
Sementara seluruh dokumen yang ditampilkan, mulai dari notulen rapat Banggar
dan TAPD, Laporan Banggar DPRD , RKA P Bagian Umum TA 2010, DPPA Bagian Umum TA
2010, sampai kepada Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Tahun 2010 yang disampaikan dalam Paripurna DPRD pada bulan April 2011, tidak
ada satupun yang mencantumkan dan menyebutkan mengenai mobil Toyota Fortuner
ini. Bahkan ketika ceritanya ini diadu dengan aturan main mekanisme penyusunan
APBD seperti yang diatur didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kebohongannya ini menjadi
semakin terkuak, modusnya untuk menjadi makelar dan mencari keuntungan dari
kegiatan yang dilaksanakan oleh SKPD terbuka secara jelas. Dan ini memang
fenomena yang sangat kental terjadi di Kabupaten sampai pada tahun 2010, dimana
anggota DPRD memiliki power yang sangat kuat dalam menentukan anggaran pada
SKPD, bargaining-bargaining dalam kamar kecil dilakukan. Dan ini dimanfaatkan
mereka untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak terpuji. Pemerasan
terhadap SKPD. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah mengatur bahwa, kewenangan DPRD dalam penyusunan
RAPBD, hanyalah sampai kepada rincian JENIS BELANJA. Dan jenis belanja
itu hanya mengatur 3 (tiga) hal, yaitu : Belanja Pegawai, Belanja Barang dan
Jasa serta Belanja Modal. Penjelasan ini, juga telah disampaikan oleh Ahli dari
Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, dalam
persidangan pada hari Jum’at tanggal 17 April 2015. Dan Permendagri ini dibuat
oleh Kemendagri, memang untuk mengantisipasi kenakalan-kenakalan anggota DPRD
sehingga tidak bisa masuk kedalam domainnya Eksekutif, yang menciptakan peluang-peluang
KKN. Sementara dalam belanja kegiatan pengadaan kendaraan dinas Bupati, itu
hanyalah perubahan volume, yang merupakan bagian yang lebih kecil lagi dari
perubahan rincian ojek belanja. Sehingga jangankan harus melalui perubahan
Perda tentang APBD yang harus melalui persetujuan DPRD, persetujuan PPKAD saja
pun tidak dibutuhkan. Karena itu sudah berada didalam kewenangan operasional
Pengguna Anggaran, yang nantinya akan dipertanggung jawabkan menjadi SILPA yang
disampaikan dalam Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati. Nah,
Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah,
memang hanya mengatur sampai kepada perubahan rincian objek belanja dalam objek
belanja berkenaan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 160 ayat (2),
sementara untuk perubahan realisasi volume, itu merupakan rincian yang lebih
detail dari perubahan rincian objek belanja dalam objek belanja berkenaan, yang
tidak termasuk diatur di dalam Pasal 160 ayat (2) tersebut.
Satu-satunya data yang bisa kita telusuri dari
imajinasinya tersebut adalah mengenai harga mobil Toyota Fortuner pada tahun
2010 tersebut. Tetapi ini malah membuka kedok rencana mark up dan makelar
anggota DPRD tersebut, karena harga mobil yang mereka usulkan dimasukkan
kedalam anggaran Bagian Umum tersebut, dua kali lipat dari harga price list
yang dikeluarkan oleh Toyota sendiri. Ini dibungkusnya dengan alasan, pajak dan
keuntungan perusahaan. Padahal untuk pengadaan kendaraan bermotor yang telah
memiliki price list dari ATPM, memang harga yang tercantum di dalam price list
tersebutlah yang menjadi harga kontrak. Karena di dalam harga price list, itu
sudah memasukkan komponen biaya pajak dan keuntungan perusahaan. Hal ini
mengingatkan kita kepada permasalahan pengadaan UPS di DKI Jakarta yang juga
melibatkan anggota DPRD nya. Apakah karena tidak jadi mendapatkan proyek dan
keuntungan ini sebagai salah satu yang menyebabkan mereka meradang ?
Wallahualam.... Karena secara politik, Saksi tersebut memang berlawanan secara
frontal dengan Bupati, yang berujung dengan pemecatannya sebagai anggota DPRD dari Fraksi Partai “A” pada tahun 2014, yang
secara kebetulan juga diketuai oleh Bupati. Hal ini hanyalah perulangan dari
pemecatan serupa yang diterimanya pada waktu menjadi anggota DPRD Kabupaten dari Fraksi “B” pada tahun 2005. Tapi
biarkanlah karakter saksi yang seperti itu. Saksi yang sesat itu biarkanlah
sesat, asalkan jangan sampai kita pula yang disesatkannya dan dibuat sesat
dengan kesaksian-kesaksian palsunya tersebut.
Yang ketiga, kita juga digiring dengan upaya dari Jaksa Penuntut Umum
untuk menghadirkan bukti utamanya dalam hal kerugian negara, dengan
menghadirkan saksi ahli dari BPKP Perwakilan Provinsi. Setelah saksi membahas
bermacam undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara, mulai dari UU No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP, Kepres,
Permendagri, dan Kepmendagri, serta aturan-aturan iternal BPKP itu sendiri,
kemudian dengan santainya saksi ahli dari BPKP Perwakilan Propinsi Sumatera
Barat, menyampaikan didepan persidangan dibawah sumpah, menjawab pertanyaan
Majelis Hakim, bahwa dasar hukum ahli menghitung kerugian negaranya sehingga
didapat angka Rp. 276.887.273,- “tidak ada sama sekali. Ini hanya menurut
perhitungan saya. Inilah menurut saya angka yang realistis. Kalau berapa angka
pastinya kerugian negara, silahkan Majelis Hakim yang menghitungnya”. Entah
kemana lagi segerobak peraturan yang dibacanya sebelumnya diletakkannya ketika
orang yang disebut ahli ini melakukan penghitungan uang. Due Process of
Law. Saya cukup terharu pada waktu Majelis Hakim, Hakim Anggota 1,
mencecar saksi tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan sampai membuat ahli
tersebut manggaretek menggigil.
Yang keempat, kita juga disuruh Jaksa Penuntut Umum untuk berimajinasi,
dengan menghadirkan saksi fakta dari Importir Umum dan showroom kendaraan
Toyota Prado ini. Tidak tanggung-tanggung, saksi ini dihadirkan dari Jakarta,
setelah sebelumnya Jaksa Penyidik mendatangi mereka kesana, katanya. Di dalam
persidangan dibawah sumpah, ternyata saksi yang dihadirkan ini adalah orang
yang sama sekali tidak mengetahui mengenai kendaraan yang sedang diperiksa
perkaranya. Berkali-kali mereka menyatakan, bahwa kalau mengenai kendaraan,
apalagi spesifikasinya, saya tidak tahu pak. Kami adalah accounting perusahaan.
Ruang kerja kami terpisah tersendiri. Terhadap keterangan mereka yang sudah
seperti itu, Jaksa Penuntut Umum tetap mencecar mereka dengan
pertanyaan-pertanyaan seputar masalah spesifikasi kendaraan. Tentu saja
akhirnya jawaban saksi adalah mengacu kepada dokumen yang ada pada mereka, yang
sudah merupakan dokumen bawaan semenjak kendaraan tersebut di import dari
Jepang. Apakah menghadirkan saksi yang tidak mengerti sama sekali dengan dunia
otomotif selain dunia accounting mereka, juga disengaja oleh JPU ? Kenapa tidak
dipastikan dihadiri dan diperiksa dari orang yang mengerti tentang dunia
otomotif CBU ? Bukankah Jaksa penyidik sudah langsung pergi ke showroom mereka
? Akan kabur dakwaan mereka jika yang hadir adalah orang teknik ?
Yang kelima, semenjak awal persidangan, kita juga digiring oleh Jaksa
Penuntut Umum dengan imajinasi JPU tentang rantai perdagangan kendaraan ini.
Padahal sama halnya dengan apa yang kita lakukan sebagai seorang pribadi di
rumah kita apabila kita membeli sebuah barang di toko, katakanlah telivisi atau
bahkan mobil sekalipun. Kita hanya akan berhubungan dengan orang atau toko
tempat kita membeli barang tersebut. Jangan pernah kita mencoba menanyakan
kepada pemilik toko atau pedagang tersebut, berapa sih sebenarnya televisi ini
harganya bapak beli ? Dimana atau darimana televisi ini bapak beli sebelum
bapak jual kepada saya ? Sampai kemudian akhirnya kita sampai kepada Importir
Umum yang memasukkan barang tersebut dari Luar Negeri ke Indonesia. Tidak akan
pernah bisa kita mendapatkannya Yang Mulia, apalagi sampai ke faktur-faktur
pembelian atau penjualannya. Nah, demikian jugalah dengan Pengadaan Barang dan
Jasa untuk pemerintah yang diatur pedoman pengadaannya dalam Kepres No. 80
Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Panitia
Pengadaan, PPTK, KPA, PA bahkan Bupati sendiripun tidak akan bisa untuk meminta
kepada rekanan, berapa seh sebenarnya modal pembelian saudara ? Coba berikan
faktur pembeliannya kepada saya. Tidak akan bisa Yang Mulia, minimal itu
jawaban yang akan kita terima, kalaupun kita tidak akan kena usir oleh mereka.
Bahkan itu TIDAK BOLEH. Disamping itu tidak boleh, yang namanya
surat-surat kendaraan, itu kita terima adalah beberapa bulan setelah kita
selesai Proses Pengadaan Barang dan Jasa tersebut. Beberapa bulan setelah mobil
itu datang. Dan itu memang berbunyi didalam kontrak pengadaan kita. Karena
memang proses untuk penerbitan surat-surat kendaraan tersebut membutuhkan waktu
dan diproses oleh banyak instansi pemerintah lainnya.
Jadi adalah tidak akan mungkin dan sangat imajinatif,
kalau kepada kami insan pengadaan barang dan jasa pemerintah pada waktu itu dan
sampai saat ini, dituntut untuk melakukan konfirmasi harga sampai ke tingkat
importir umum, sementara kita belum mengetahui apa nama perusahaan importir
umum kendaraan tersebut pada waktu proses pengadaan tersebut dilaksanakan. Nama
Importir Umum kendaraan tersebut, baru ada tertulis beserta alamatnya, adalah
pada buku BPKB kendaraan yang kita terima beberapa bulan setelah kendaraan
tersebut diperiksa dan diterima oleh Pemda.
Untuk memperkuat dan menjustifikasi dakwaan JPU bahwa
rantai perdagangan kendaraan ini terlalu panjang, dan mestinya bisa dihemat
dengan membeli langsung kepada importir umum, maka di kejarlah Importir Umum
dan rekanan dengan pertanyaan-pertanyaan, PT ini membeli dari PT mana, PT ini
membeli seharga berapa. Kemudian menjualnya ke PT mana dan dengan harga berapa.
Suatu pertanyaan yang tidak beralasan dan hanya bisa dipertanyakan oleh
orang-orang yang sangat bodoh yang memang tidak pernah sama sekali membeli
sebuah barang dalam sebuah Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah untuk
kantornya, karena selama ini hanya terbuai dengan meminta kepada Pemerintah
Daerah dan tahu ada saja. Dan memang pada kenyataannya, tidak seorangpun dari
Penyidik dan JPU yang terlibat dalam kasus pengadaan barang dan jasa pemerintah
ini yang mempunyai pengalaman, apalagi keahlian dan memiliki sertifikasi
sebagai Ahli Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang dikeluarkan oleh Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah RI, walaupun telah beberapa kali
mengikuti ujian ini untuk kantor Kejaksaan Negeri. Tetapi selalu gagal. Tidak
lulus. Hal ini sangat mudah sekali kita lacak dari database Ahli Pengadaan
Barang dan Jasa Pemerintah yang memiliki sertifikat pada website LKPP RI. Kalau
Majelis Hakim Yang Mulia berkenan untuk masuk ke website tersebut,
http://logbook.lkpp.go.id/logbook2/index.php?hlmn=detailprop059 insyaallah Yang
Mulia akan menemukan nama saya dan nama saudara atau putra atau putri yang
Mulia yang memiliki sertifikat tersebut.
No comments:
Post a Comment