Yang ke Enam. Tiba-tiba muncul nama Sk di halaman 57 Surat Tuntutan Jaksa,
sebagai seorang saksi di bawah sumpah di persidangan dan memberikan
keterangan-keterangan. Saya sampai harus lama membayangkan bagaimana sosok Sk
berdiri membaca sumpah yang dipandu oleh salah seorang Majelis Hakim. Dan saya
juga berulang-ulang membuka catatan persidangan saya, termasuk memutar rekaman
persidangan, untuk mencari nama Sk. Ternyata tidak ada. Dan memang Sk tidak
pernah hadir di acara persidangan sama halnya dengan saksi Y. Sk yang dibuat
JPU pada halaman 57 Surat Tuntutannya adalah sosok Imajiner yang tidak pernah
kita nampak kehadirannya di ruang persidangan ini. JPU, selera humor imajiner
anda memang cukup tinggi.
Tapi apapun itu nama dan bentuk imajinasi Jaksa
Penuntut Umum. Biarlah dia menjadi imajinasi JPU saja. Jangan sampai persidangan
kita yang terhormat dan mulia ini, juga menjadi imajiner sehingga keputusan
Majelis Hakim nantinya juga akan menjadi imajiner. Tinggallah saya sendiri yang
berada pada dunia nyata di dalam penjara yang tidak bisa diimajinerkan juga.
Sehebat-hebatnya cerita fiksi dan secanggih-canggihnya imajinasi akan kalah
dengan realitas yang senyatanya.
I. TERHADAP DAKWAAN DAN TUNTUTAN
DARI JPU
Primair :
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3)
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah di ubah dan ditambah
dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Subsidair :
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah di ubah dan ditambah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Dari dakwaan yang dituduhkan kepada Terdakwa,
Terdakwa menyangkal secara keseluruhan dan itu akan Terdakwa rangkum sebagai
berikut :
1. Pada Hal 2 alinea ke-2 baris ke-12 s/d 15
“Pada tanggal 16 oktober 2010
direktur CV. MM Sdr. AA melalui surat menawarkan kepada Terdakwa selaku KPA
berupa kendaraan mobil dinas Toyota Prado 2.7 TX seharga Rp. 875.000.000,-
(delapan ratus tujuh puluh lima juta rupiah) dan Toyota Prado 2.7 TX-L seharga
Rp. 923.000.000,- (sembilan ratus dua puluh tiga juta rupiah)”
Disini Jaksa menghilangkan data dan fakta bahwa surat
penawaran yang masuk kepada Pemda bukan hanya 1 (satu) dari CV. MM saja tetapi
juga dari PT. IM, A berupa price list harga kendaraan Toyota pada kondisi bulan
September 2010, TM, SM dan AC. Semua surat penawaran ini sudah ada dan
diketahui oleh Jaksa sebagaimana seluruh dokumen-dokumen administrasi telah
kami serahkan kepada jaksa pada saat permintaan keterangan di tingkat
penyelidikan, sama halnya dengan seluruh dokumen yang kami serahkan kepada
Auditor dari BPKP. Hal ini sengaja dilakukan oleh JPU untuk menjustifikasi
dakwaannya seolah-olah pengadaan kendaraan dinas ini direkayasa dari awal untuk
Sdr. AA Direktur CV. MM.
Berikut kami lampirkan surat-surat penawaran dimaksud
yaitu dari CV. MM, PT. IM, A, TM, SM dan AC
2. Pada Hal 2 alinena ke-3 Baris 1-2
“Setelah selesai melaksanakan
survey, Terdakwa membuat dan menandatangani sendiri surat telaahan staf
tertanggal 18 Oktober 2010”
Ini adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi
di dalam suatu Organisasi Birokrasi Pemerintahan, seorang Kepala Bagian yang
berada pada eselon III.a membuat suratnya sendiri. Tetapi pasti dibuat secara
hierarkis oleh stafnya. Hal ini contohnya sama saja dengan Surat Perintah
Penahanan atas nama saya sendiri yang ditandatangani oleh YIG selaku Kepala
Kejaksaan Negeri yang eseloneringnya sama-sama III.a dengan saya selaku Kepala
Bagian Umum Sekretariat Daerah. Apakah ini artinya juga bahwa yang membuat dan
menandatangani Surat Perintah Penahanan tersebut adalah YIG sendiri? Tentu
tidak..karena surat-surat dinas selalu dibuat dan diproses oleh bawahan kecuali
kalau yang dimaksudkan oleh JPU ini adalah seperti yang saudara lakukan pada
surat tuntutan yang dibacakan pada persidangan kemaren yang tentulah dibuat
oleh saudara JPU A sendiri dan langsung ditandatangani oleh saudara A.
3. Pada hal 4 alinea ke-2 baris ke-3 s/d 5
“Lalu Terdakwa membuat telaahan
staf kepada Bupati tertanggal 10 November 2010 yang ditandatangani oleh Asisten
III pada Sekda (Ir. ZN)”
Hal ini sangat kontradiksi dengan apa yang dituliskan
oleh JPU dalam tuntutannya. Dimana dalam hal ini, Asisten III yang
menandatangani tapi tetap saya yang disebut membuat telaahan staf tersebut. Ini
sama saja dengan JPU memakai prinsip yang dalam bahasa minang disebut “mambalah
batuang” yang artinya menginjak yang dibawah dan mengangkat yang diatas untuk
menjustifikasi anatomi kasus yang dibangunnya.
4. Pada Hal 5 alinea ke-1 baris ke-4 s/d 6
“meskipun Terdakwa telah
mengetahui bahwa prosedur perubahan jumlah output unit pengadaan kendaraan
tidak bisa serta merta dilakukan tanpa melalui mekanisme perubahan APBD yang
dibahas bersama DPRD”
Apa yang dituduhkankan oleh JPU ini adalah tidak
benar, karena justru sebaliknya saya mengetahui bahwa prosedur perubahan volume
dimaksud tidak melalui mekanisme perubahan APBD yang dibahas bersama DPRD
sebagaimana yang dimaksudkan oleh saudara JPU. Bahkan juga tidak membutuhkan
persetujuan PPKAD sebagaimana yang dimaksudkan dalam Permendagri No. 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pegelolaan Keuangan Daerah Pasal 160 ayat (2). Hal ini
karena perubahan volume tidak termasuk dalam objek belanja dan juga tidak
termasuk rincian objek belanja yang apabila terjadi perubahan memerlukan
persetujuan DPRD atau PPKD. Perubahan volume hanyalah merupakan realisasi dari
pelaksanaan kegiatan yang harus dicantumkan di dalam Laporan Realisasi
Keuangan, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Tahun 2010
dan LKPJ Bupati Tahun 2010 sebagaimana yang sudah dilaksanakan pada bulan April
tahun 2011, yaitu pada Bab IV halaman 224-225. Dapat saya contohkan misalnya
dalam pengadaan ATK di kantor yang telah direncanakan dan dianggarkan untuk
Kertas sejumlah 100 Rim dengan total harga Rp. 3.200.000, namun pada saat
pelakanaan pembelian kertas tersebut, terjadi perubahan harga sehingga dengan
uang sejumlah Rp. 3.200.000 tersebut hanya dapat membeli untuk 80 Rim saja. Nah
perubahan seperti ini tidak harus melalui mekanisme persetujuan DPRD atau
bahkan ke PPKD. Contoh lain misalnya dalam Pembangunan Jalan yang direncanakan
dan dianggarkan untuk 1 Km dengan pagu Rp. 1.000.000.000, namun realiasinya
hanya 900 m karena pada saat pelaksanaan terjadi perubahan harga satuan. Hal
ini juga tidak memerlukan persetujuan DPRD dan PPKD. Sengaja sebagai ilustrasi
yang kami tampilkan adalah angka yang kecil semata hanya untuk memudahkan kita
semua untuk melakukan perhitungan singkat dipikiran kita masing-masing karena
pada hakekatnya, di dalam keuangan negara tidak ada perbedaan angka antara 100
rupiah dan 1 milyar rupiah, pertanggungjawabannya selalu sama, jelas dan tegas.
5. Pada Hal 5 Alinea ke-3 baris ke-1-3
“Selanjutnya Terdakwa mengirim
surat nomor : 027/217/KPA/ Umum-2010 tertanggal 23 10
Nopember
2010 yang isinya meminta ULP untuk melaksanakan Penunjukan Langsung terhadap
paket pekerjaan tersebut.”
Lagi-lagi dalam hal ini JPU juga tidak menyimak
bahkan menghilangkan fakta persidangan hari Jum’at tanggal 13 Februari 2015.
Pada persidangan tersebut, Sdr. B dibawah sumpah telah secara jelas dan nyata
menyatakan bahwa bukan Terdakwa yang mengirimkan surat tersebut, tetapi adalah
Ketua Panitia 1 ULP Kabupaten yaitu Sdr. B sendiri yang telah membuatnya dan
membawa surat tersebut kepada Terdakwa untuk ditandatangani oleh Terdakwa
dengan alasan untuk membantu mempercepat waktu pelaksanaan pelelangan tersebut.
Hal ini sebagaimana yang tertuang juga di dalam Surat Tuntutan JPU dalam
perkara ini Hal. 22 alinea terakhir dan Hal 23 alinea pertama. Kemudian juga
dapat dibuktikan melalui rekaman persidangan.
6. Pada Hal 5 Alinea ke-4 baris ke-1 s/d 2
“Bahwa setelah seluruh
kelengkapan adminsitrasi untuk mengikuti proses penunjukan langsung telah
dilengkapi, V menyerahkannya kepada ULP melalui perantaraan Terdakwa”
Dalam kalimat ini, kembali JPU mengingkari fakta persidangan,
dimana dalam persidangan V, pada hari Jum’at tanggal 20 Maret 2015. Dibawah
sumpah persidangan, V menyatakan menyerahkan dokumen kelangkapan administrasi
pelelangan kepada ULP adalah langsung kepada panitia 1 ULP tetapi tempatnya memang
berada pada ruangan Kabag. Umum, yaitu ruangan Terdakwa. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Sdr. V dalam rekaman persidangan pada hari Jum’at tanggal 20
Maret 2015.
7. Pada Hal 5 Alinea ke-5 baris 1 s/d 4 dan baris
“Selanjutnya Terdakwa mengeluarkan
Surat nomor 027/218/KPA/Umum-2010 tangal 3 Desember 2014 yang ditujukan kepada
ULP yang menetapkan PT. BI memenuhi syarat dan lulus evaluasi sebagai rekanan
kegiatan pengadaan 1 ( satu ) unit kendaran Dinas Bupati dan Wakil Bupati.
Kemudian diterbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang dan Jasa (Gunning) Nomor
027/176/SP/2010 tanggal 13 Desember 2010 yang dibuat dan ditandatangani oleh
Terdakwa.”
Kembali redaksinya yang dibuat dan ditandatangani
oleh Terdakwa, pada hal di dalam fakta persidangan telah diakui oleh
Sdr. B selaku Ketua 1 ULP Tahun 2010
bahwa seluruh administrasi dokumen pengadaan kendaraan dinas ini dibuat dan
disiapkan oleh Sdr. B sendiri. Sebagaimana tugas dan fungsi panitia pengadaan
barang di dalam SK Bupati Nomor. 188.45/98/BUP/2010 tanggal 26 Januari 2010
tentang Penunjukan Panitia Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah pada ULP Kabupaten
. Kemudian untuk surat Nomor 027/218/KPA/Umum-2010 tanggal 3 Desember 2010, itu
tidak serta merta ditandatangani langsung oleh Terdakwa karena sebelumnya
terlebih dahulu ada surat Usulan Penetapan Calon Penyedia Barang Lulus
Pascakualifikasi dari Ketua Panitia 1 ULP kepada KPA Nomor :
14PL.4/ULP.B1/UPCPLP/1/-2010 tanggal 03 Desember 2010. Dan surat Nomor
027/218/KPA/Umum-2010 tanggal 3 Desember 2010 bukanlah surat penetapan PT. BI
yang memenuhi syarat dan lulus evaluasi sebagai rekanan sebagaimana yang
ditulis oleh JPU pada hal 5 alinea ke-5 baris ke-2 dan 3. Jika surat yang
dimaksud adalah surat Nomor 027/218/KPA/Umum-2010 tanggal 3 Desember 2010,
perihal yang benar adalah Surat Penetapan Calon Penyedia Barang Lulus
Pascakualifikasi yang sebelumnya terlebih dahulu ada surat usulan calon
penyedia barang lulus pascakualifikasi dari Ketua ULP 1 kepada KPA dengan Nomor :
14PL.4/ULP.B1/UPCPLP/1/-2010 tanggal 3 Desember 2010 beserta lampiran Berita
Acara Hasil Evaluasi Pascakualifikasi yang ditandatangani oleh 5 orang panitia
1 ULP dengan Nomor 14PL.3/ULP.B1/BAHEP/1/-2010 tanggal 3 Desember 2010.
Setelah surat tertanggal 3 Desember 2010 tersebut,
masih banyak surat-surat dan dokumen lain yang dikeluarkan oleh Ketua Panitia 1
ULP yaitu :
-
Surat undangan Aanwijzing kepada PT. BI
-
Berita Acara Penjelasan Pekerjaan (Aanwijzing)
-
Berita Acara Pembukaan Penawaran
-
Koreksi Aritmatik
-
Berita Acara Hasil Evaluasi
-
Berita Acara Negosiasi Teknis dan Harga, dan
-
Surat Usulan Penetapan Pemenang PL kepada KPA
Inilah yang dikatakan tadi bahwa JPU hanya mengambil
dan menyampaikan surat-surat dan dokumen yang dibutuhkannya untuk
menjustifikasi dakwaannya dan menghilangkan barang-barang bukti yang lain yang
semestinya merupakan satu kesatuan dalam proses pengadaan kendaraan dinas ini.
Sehingga dengan demikian, kesimpulan yang disimpulkan oleh JPU tidak sesuai
dengan fakta yang ada, apalagi ditambah dengan JPU maupun aparat penyidik di
Kejaksaan Negeri memang tidak satupun yang memiliki sertifikasi keahlian
pengadaan barang/ jasa meskipun telah beberapa kali pernah mengikuti pelatihan
dan ujian sertifikasi tersebut, namun tidak satupun yang lulus dan memiliki
sertifikasi sebagai Ahli Pengadaan.
8. Pada Hal 5 Alinea ke-5 baris ke-12 dan 13
“Baladewa Indonesia menyerahkan
1 ( satu ) unit mobil Toyota Land Cruiser Prado 2.7 4 WD A/T dengan logo “TX
Limited” padahal faktanya mobil tersebut bukan tipe TX Limited melainkan tipe
TX standar edition”
Di dalam fakta persidangan memang dibuktikan bahwa
secara administrasi surat kendaraan, mobil tersebut adalah Type TX Standart
Edition tetapi sekaligus di dalam fakta persidangan juga terungkap bahwa
seluruh mobil CBU yang masuk ke Indonesia memang dalam kondisi standar edition.
Proses upgrade menjadi Limited itu dilaksanakan di Indonesia, kenapa hal itu
terjadi? Ini adalah karena trik dari importir umum kendaraan bermotor untuk
menghindari pajak yang tinggi sehingga akibatnya tidak terjangkau oleh konsumen
di Indonesia. Dan dari fakta persidangan juga terungkap bahwa saksi yang
dihadirkan JPU dari Jakarta yaitu S dari PT MA dan JH dari DK JM itu adalah
orang yang tidak tepat untuk didengarkan kesaksiannya karena berkali-kali saksi
tersebut menyatakan bahwa dia tidak mengerti dengan spek kendaraan, karena dia
adalah sebagai accounting di perusahaan tersebut. Jadi yang dia mengerti
hanyalah sepanjang dokumen administrasi keuangan tentang kendaraan tersebut.
Hal ini dapat dibuktikan dari rekaman persidangan hari Jum’at tanggal 6 Maret
2015. Padahal semestinya jika JPU berkeinginan dan bersungguh-sungguh untuk
mengetahui dan mengungkapkan kebenaran dari standar mobil tersebut, yang
dihadirkannya adalah tenaga teknisi atau paling tidak, sales marketing dari
perusahaan tersebut. Padahal JPU menyatakan bahwa jaksa penyidikpun telah pergi
ke showroom kendaraan tersebut, tetapi kenyataannya yang dibawanya untuk
menjadi saksi adalah orang yang sama sekali tidak mengerti tentang spek
kendaraan karena keduanya adalah orang accounting. Upaya jaksa yang seperti ini
yang hanya untuk menjustifikasi dakwaaannya saja dengan menghalalkan segala
cara termasuk menghadirkan saksi yang tidak memenuhi persyaratan formil dan
materil. Inilah yang kemudian dituangkan JPU di dalam surat tuntutannya. Sementara
bagi persidangan Pidana, dalam mencari kebenaran materiil peristiwanya harus
terbukti beyond reasionable doubt tanpa diragukan. Kontradiksi keadaan
seperti ini dimana JPU sendiri tidak memiliki pengetahuan tentang dunia
otomotif tetapi kemudian malah menghadirkan saksi yang juga tidak mengetahui
dunia otomotif, disisi lain keterangan-keterangan dari saksi yang lain bahwa
kendaraan itu adalah Type TX Limited, itu dikesampingkan begitu saja oleh JPU.
Padahal saksi tersebut memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menyatakan
kendaraan tersebut, sesuai dengan spesifikasi Type TX Limited dan menuangkannya
ke dalam Berita Acara Pemeriksaan Barang. Saksi yang dimaksud dalam hal ini
adalah Saksi Ao, Saksi BPR, Saksi SB dan Saksi RHEP yang merupakan Tim Panitia
Pemeriksa Barang yang diangkat berdasarkan SK Bupati Nomor : 188.45/248/BUP/2010
tanggal 14 April 2010.
Demikian juga dengan keterangan saksi An, FW dan TI
dan ON yang sehari-hari dalam kehidupannya memang selalu bergelut dibidang jual
beli kendaraan bermotor yang mengerti dan paham tentang spesifikasi kendaraan
bermotor.
Keadaan seperti ini adalah ibarat cerita bagaimana 3
orang buta menceritakan gambaran dari seekor gajah, yang kemudian menceritakan
bagaimana bentuk gajah tersebut tergantung dari bagian mana yang dipegangnya.
Karena sama-sama tidak sepakat akhirnya mereka bertanya kepada orang yang
lewat, yang ternyata orang itu juga buta (S dan JH).
9. Pada Hal 5 Alinea ke-5 baris ke-14 dan 15
“Terdakwa sengaja menunjuk
anggota tim yang tidak memiliki kompetensi yang memadai dalam melakukan
pemeriksaan sehingga pada saat itu tim langsung berkesimpulan bahwa kendaraan
yang datang tersebut telah sesuai dengan spesifikasi pada kontrak.”
Bahwa apa yang dinyatakan oleh JPU ini adalah
merupakan sebuah bukti yang nyata bagi kita bersama bahwa untuk membuktikan
dakwaannya, JPU bahkan tidak bisa lagi membaca SK Tim Pemeriksa Barang yang
ada, dimana SK tersebut adalah bertanggal 14 April 2010 yang ditandatangani
oleh H. S sebagai Bupati, sedangkan Terdakwa sendiri baru mulai bertugas disana
pada tanggal 29 September 2010. Artinya ini membuktikan bahwa tuduhan JPU yang
mengatakan Terdakwa sengaja menunjuk anggota tim yang tidak memiliki kompetensi
yang memadai dalam melakukan pemeriksaan adalah sama sekali tidak berdasar,
mengada-ada dan bertentangan dengan fakta dokumen yang ada, yang bahkan SK Tim
Pemeriksa Barang tersebut dijadikan juga sebagai Barang Bukti No. 41 oleh JPU
sendiri sebagaimana yang tertera pada Surat Tuntutan perkara ini pada hal 79.
Dan sampai dengan pemeriksaan barang dilakukan, Terdakwapun secara pribadi
belum kenal dengan para pemeriksa. Juga berdasarkan tugas-tugas KPA di dalam
Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Pasal 9, tidak ada yang memerintahkan agar KPA memilih, mengusulkan apalagi
menetapkan panitia pemeriksa barang. Hal ini adalah berkaitan dengan Indepensi
dari masing-masing yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa. Hal
yang sama juga berlaku untuk panitia pengadaan barang dan jasa di ULP. Kabupaten.
Apalagi dasar hukum pembentukan PPTK, KPA, PA, ULP, Panitia Pengadaan Barang
dan Jasa dan Panitia Pemeriksa Barang, adalah sama-sama SK Bupati, dengan SK
yang terpisah satu sama lainnya
No comments:
Post a Comment