Fenomena pemberian Tunjangan Daerah (Tunda) yang dimaksudkan
untuk mensejahterahkan pegawai ternyata mulai menuai protes dan mencuat
kepermukaan. Di Kabupaten Agam protes muncul dari para guru yang merasa
diperlakukan secara tidak adil. Bupati Agam beberapa waktu lalu pada sebuah
koran dalam menjawab SMS Warga mengatakan: “Tunjangan Daerah bisa diterima pada
bulan Mei ini, dan hal itu sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap
staf dan PNS”. Ternyata bentuk perhatian dari kepedulian pemerintah daerah
tidak membuat para Pegawai (PNS/PTT) terutama guru puas.
Tunda Agam perlu Ditunda kata Kasra Scorpi dalam Refleksinya
di Haluan Kamis 10 Mei 2007 dalam menyikapi aspirasi yang berkembang dikalangan
pendidik Kabupaten Agam. Berdasarkan Keputusan Bupati Agam Nomor 23/2006, kepala sekolah menerima
200.000/bulan, sementara KTU sekolah menerima Rp. 225.000/bulan, sedangkan guru
PNS termasuk guru Bantu menerima Rp. 150.000/bulan, pejabat pemegang eselon ada
yang menerima Rp. 2 jutaan/bulan dan potong pajak 15%.
Bukan hanya di Agam di daerah-daerah lain pun kejadiannya
hampir serupa, memberikan Tunjangan Daerah dengan alasan meningkatkan
kesejaterahan pegawai atau lebih halus sebagai tunjangan beban kerja.
Komposisi/Stuktur pemberian Tunjangan Daerah pun hampir sama
yaitu seperti Piramida Terbalik, makin tinggi jabatan struktural atau golongan
pangat makin besar tunjangan yang diterima, makin rendah pangkat/golongan ruang
makin kecil tunjangan yang diterima. Hal inilah yang menjadi pangkal munculnya
permasalahan bagi kalangan staf bawah terutama guru yang tiap bulannya hanya
menerima gagi dan tunjangan fungsional, tanpa ada uang pernjalanan dinas atau
tambahan lainnya.
Sepintas pemberian tunjangan daerah tersebut merupakan
kebaikan/kepedulian Kepala Daerah terhadap seluruh staf/PNS yang berada
didaerahnya, memperjuangkan sampai akhirnya bisa memberikan tambahan
penghasilan. Wah, Walikotanya baik, Bupatinya hebat!. Itu baru Gubernur!
Tetapi bagi yang berpikir kritis pemberian tunjangan daerah
merupakan akal-akalan kelompok tertentu agar dapat menangguk di air jernih, kesempatan emas menaikan pengahasilan
secara syah, Ekstrim-nya, pemberian tunjangan daerah merupakan konspirasi
antara DPRD dengan Bupati/Walikota/Gubernur bersama Pejabat Pemda (Sekda,
Kepala Dinas atau pejabat bereselon). Anggota DPRD (legislatif) mendapat
penghasilan melalui berbagai tunjangan seperti representasi, keluarga, beras.
pph/khusus, paket, panitia musyawarah, komisi, panitia, anggaran, badan
kehormatan, perumahan, dan tunjangan komunikasi, sebagian ada yang
menganggarkan pembelian Laptop.
Untuk meloloskan anggaran tersebut maka pihak eksekutif
menganggarkan tunjangan daerah, yang intinya adalah merupakan kepentingan
kelompok (Kepala Daerah dan Pejabat bereselon di daerahnya) tertentu.
Sistim pemberian tunjangan daerah seperti ini memunculkan
kecemburuan, dan pertentangan-pertentangan antara suatu kelompok dengan
kelompok lainnya dengan alasan tidak adil. Kelompok yang sangat diuntungkan
akan berdalih bahwa keadilan tidak boleh dipandang sama artinya dengan
pemerataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang menperoleh bagian yang
sama. Wajar saja kami mendapat bagian bersar mengingat tanggungjawab kerja dan
jabatan yang diraih susah payah dalam waktu lama.
Kelompok yang menerima lebih kecil mengatakan enak di bapak-bapak saja, urusan gaji,
honor dan tunjangan besar ke bapak (atas). Nggak enak buat kami urusan
pembagian kerja makin kebawah makin berat.
Terdapat dua perbedaan penafsiran mengenai keadilan
sebagaimana diajarkan Aristoteles yaitu Keadilan Distributif dan Keadilan
Commutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada
tiap-tiap orang jatah menurut jasa nya.
Tidak setiap orang harus mendapat bagian sama banyak bukan
persamaan melainkan ke sebandingan.
Setiap warga negara dapat diangkat dalam jabatan setiap
pejabat pemerintah (ayat (3) Pasal 43 UU 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia),
bukan berarti semua orang dapat diangkat menjadi pejabat eselon II tersebut
melainkan berarti bahwa jabatan tersebut diberikan kepada mereka berdasarkan
syarat-syarat tertentu dan patut mendapatkannya.
Keadilan commutatif adalah keadilan yang memberikan pada
setiap orang sama banyaknya dengan tidak
mengingat jasa-jasa perseorangan.
Memang sangat sukar mencari keadilan dimanapun berada diatas
dunia ini apalagi jika dilakukan banyak orang, adil bagi si A belum tentu adil
bagi si B. sesuatu yang diterima secara gratis pun sering digugat tidak adil,
masa Cuma segini.
Bahkan hukum-pun tidak bisa memberikan keadilan itu pada
setiap orang, vonis demi keadilan yang dijatuhkan hakim akan diterima berbeda
oleh korban dan pelaku.
Melihat fenomena pemberian tunjangan daerah oleh
masing-masing pemerintah daerah adalah yang jelas sangat besar perbedaan antara
yang diterima pejabat tertinggi dengan staf terendah sehingga jurang pemisah
penerimaan penghasilan antara orang yang sama-sama satu kantor itu makin dalam.
Jika ditotal, penghasilan resmi dan legal (gaji + tunjangan jabatan ) eselon II
sebelumnya berkisar Rp. 4 juta sebulan meningkat 50 persen menjadi 6 juta
rupiah, sementara PTT yang sebelumnya Rp. 500 ribu naik 30 persen menjadi 650
ribu rupiah per bulan, tetapi jarak gaji
mereka yang sebelumnya hanya 3,5 juta kini menjadi lebih 5 juta atau lain kata
sebulan penghasilan eselon II bisa buat setahun untuk PTT.
Dalam hal ini terlihat lemahnya sensibilitas para pejabat
kita terhadap kondisi disekitarnya, terhadap bawahannya seperti itu apalagi
terhadap orang yang berada jauh dari kantornya (masyarakat daerahnya). Apakah
memang tidak ada lagi rasa kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan
semua masyarakat di daerah tersebut. Apakah memang tidak ada lagi rasa
kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan semua masyarakat di daerah
tersebut.
Karena memang tidak mungkin memberikan rasa adil bagi semua
masyarakat, paling tidak dengan itikad baik memberikan keseimbangan dan tidak
membuat kesejangan sosial. Bukankah Indonesia yang berkeadilan menurut
pembukaan UUD adalah Indonesia yang menjamin terselenggaranya hak-hak setiap
warganya dan mampu mencegah terjadinya kesenjangan dalam semua aspek kehidupan
berbangsa dan benegara.
Apakah pantas disaat daerah ini diguncang bencana dan
memerlukan banyak bantuan, serta masih banyaknya masyarakat miskin yang belum
tertanggulangi, kita ribu-ribut soal komposisi Tunjangan Daerah yang mungkin
hanya bisa dinikmati sebagian rakyat daerah ini saja?
Sum mumius, summa iniura, keadilan tertinggi adalah
ketidak-adilan yang tertinggi.
Catatan :
Tulisan ini dimuat di
Harian Haluan, Senin tanggal 21 Mei 2007, Hal 1