Tuesday, December 29, 2015

Catatan Akhir Tahun 2015 : Semoga kita selalu sehat-sehat saja !

Suatu waktu, seorang Sekretaris Kecamatan bercerita; ada seorang ibu mau melahirkan, karena ada masalah dalam kandungan maka sang ibu dirujuk Bidan ke Puskesmas. Karena keterbatasan alat kesehatan si Ibu dirujuk lagi ke RSUD.
Setelah diperiksa, sang Ibu disarankan untuk di bawa ke Rumah Sakit Swasta. Di RS Swasta tersebut si Ibu di operasi dan bayinya lahir selamat.
Masalah mulai muncul ketika si Ibu ditagih biaya 7 juta rupiah!. Karena si Ibu adalah keluarga tidak mampu. Akhirnya Sekcam nego dengan pimpinan RS Swasta tersebut, ….pihak RS Swasta berbaik hati memberikan harga hanya separo…3,5 juta rupiah.
Itu cerita yang saya dengar dari orang lain.
Saya sendiri pernah beberapakali mendampingi sanak saudara yang di rawat di RSUD itu dan selanjutnya di rujuk ke RS M. Jamil Padang.
Salah seorang dari keluarga saya itu meninggal ketika baru sampai di RS M. Jamil Padang. Mungkin sudah takdir ajal menjemputnya sebelum mendapatkan perawatan di RS M Jamil Padang. Dan keluarganya pun menerima takdir itu. Mereka tidak meratap bahkan menangispun tidak. Air mata mereka telah tumpah ketika almarhumah dirujuk dari Puskesmas ke RSUD. Bagi mereka dengan dirujuk ke RSUD berarti sakit almarhumah benar-benar parah. Dan air mata itu kembali tumpah ketika tahu RSUD pun tidak sanggup mengobati dan harus dirujuk ke Padang.
Dan ketika pada akhirnya almarhumah menutup mata untuk selama-lamanya mereka hanya berucap ”selamat jalan”, berusaha untuk kuat karena membasahi mayat dengan airmata adalah tidak baik.
Tidak sedikitpun mereka menyalahkan siapa-siapa.

Hanya saya yang merasa tidak puas sekaligus kecewa dan mungkin juga marah…kenapa mesti dirujuk ke RS lain?. Dan kenapa pula proses pemberangkatannya ke Padang itu harus tertunda karena Kartu BPJS nya belum siap ?
Mungkin saya sentimen, karena itu menimpa bagian dari keluarga saya. Ya… mungkin saya sentimen ! biarlah saya dianggap begitu karena ini memang kejadian yang saya alami.
Tetapi cerita tentang RSUD itu juga sudah sering saya dengar. Tentang keluarga pasien yang mengamuk karena tidak puas terhadap pelayanan. Saya juga sudah berkali-kali mengungkapkan kekecewaan saya di media sosial. Tetatapi dari tahun ke tahun saya tidak melihat perubahan yang cukup signifikan.

Belum lama saya juga mendampingi keluarga yang dirujuk dari Puskesmas ke RSUD. Lagi-lagi masalah prosedur administrasi membuat tindakan medis menjadi terunda. Kartu BPJS keluarga saya itu ternyata tidak berlaku lagi. Padahal menurut saran dokter dia harus dirujuk ke RS M Jamil Padang.

Bersambung….

Monday, December 21, 2015

Singguluang Nyiak Wali

Pada saat ini berapa Nagari di Kabuapten Agam tengah berlangsung Alek Politik Anak Nagari untuk memilih Pejabat Publik atau Kepala Pemerintahan yang disebut Wali Nagari. Jabatan Wali Nagari merupakan jabatan potitis yang sama prestisiusnya dengan jabatan kepala daeah (Gubernur, Bupati/Walikota) karena untuk mendapatkannya harus melalui proses pemilihan yang nyaris sama dengan proses Pilkada maupun Pilpres.
Bahkan dari satu sisi proses Pilwana (Pemilihan Wali Nagari) bisa dikatakan sebagai proses pemilihan yang paling pas di negara ini dibandingkan Pilkada dan Pilpres karena para calonnya independen (tidak dicalonkan parpol) dan tidak harus “membayar untuk maju sebagai calon.
Tetapi satu hal yang mungkin terlupakan oleh otoritas pembuat aturan “kembali ke nagari” adalah tanggungjawab dan hak-hak nagari (Wali Nagari dan perangkat pemerintahnya) yang tidak seimbang.
Wali Nagari yang dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dalam Pilwana, dalam menjalankan pemerintahan hanya dibantu oleh beberapa orang Pegawai Pemerintah Nagari (Sekretaris dan beberapa Kaur) dan Kepala Jorong. Bahkan jika dilihat lebih jauh, tugas Wali Nagari lebih berat daripada tugas Gubernur, Bupati ataupun Presiden karena selain tugas umum pemerintahan Inyiak Wali juga mengerjakan semua persoalan yang dihadapi Nagari selama 24 jam tiap hari. Bukan hanya dikantor, tengah malam pun rumah Nyiak Wali diktetok-ketok masyarakatnya untuk mengadukan persoalan dari yang besar sampai kecil, dari persoalan serius sampai sepele.
Tetapi dari segi fasilitas yang diterima sungguh sangat tidak memadai. Nyiak Wali tidak mempunyai Wakil Wali Nagari yang bisa membantu seperti halnya Wabup, Wagub atau pun Wapres, kalupun ada Sekretaris Nagari itu dijatah oleh Depdagri dengan parameter orang yang memenuhi persyaratan PNS maksimal golongan II begitu juga dengan perangkat nagari lainnya dengan kualitas SDM terbatas sehingga tidak bisa secara maksimal menjalankan tugas pemerintahan.
Padahal keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan ditentukan oleh bentuk SOTK dan juga sangat dipengaruhi oleh ketersedian dan kualitas dari SDM aparaturnya, karena SDM inilah yang akan menggerakkan pemerintahan nagari untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
Jika dibandingkan antara nasib Nyiak Wali dengan Bupati dan Gubernur sungguh jauh berbeda, disamakan tentu tidak mungkin tetapi seharusnya fasilitas yang diberikan kepada Wali Nagari beserta perangkatnya minimal mampu mendukung kinerja untuk menjalankan program Baliak ka Nagari atau pembangunan berbasis Nagari. Gaji misalnya sebagai pejabat publik yang dipilih secara demokratis sama halnya dengan Bupati, Gubernur bahkan Presiden, hendaknya gaji yang diberikan bukan hanya sekedar cukup.
Begitu juga hak-hak lainnya seperti Tunjangan Daerah, kalau untuk Bupati/Wakil Bupati dan Pengawai Pemda lainnya diberikan kenapa untuk Wali Nagari dan aparatnya tidak?
Hendaknya ketika memberikan suatu beban kerja juga diiringi perangkat yang memadai karena “kok mancancang pakai landasan, manjunjuang nan barek tantu pakai singguluang” jangan sampai “baban barek singguluang tipih” bisa sakit kepala Nyiak Wali kita dan bisa-bisa akhirnya pitih DAUN pulo nan dikorupsi.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Sein tanggal 14 Januari 2008, Hal 3

Kalau Saya Jadi Bupati

Setelah membaca tulisan pada Rubric Detak Jam Gadang dengan judul “Bisik-bisik Bupati Agam” oleh Kasra Scorpi Jum’at tanggal 26/12 sulit untuk dipungkiri bahwa jabatan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) memang jadi incaran semua orang. Di Agam sebagaimana diungkap Kesra Scorpi pada tahun 2010 ketika berakhirnya masa jabatan Bupati Aristo Munandar-Wabup Adrinal Hasan peta persaingan untuk jabatan Bupati Agam “indak jauah lenggang dari katiak”.
Persaingan akan terjadi antara orang-orang yang selama ini telah berkiprah di daerah Kabupaten Agam seperti Wabup Ardinal Hasan, Sekda Azwar Riman Thaher, Kadispenda Drs. Abdi Murtani, Kadinas Pendidikan Prof. Dr. Sufyarma Marsidin, M.Pd dimana mereka itu sampai saat ini masih tercatat sebagai “Anggota Kabinet” Bupati Aristo Munandar.
Sama dengan pemilihan Bupati (pilkada) Agam tahun 2005 ketika Aristo bersaing dengan Gustiar Agus (mantan atasan) dan dengan Syafrudin Hasan (mantan Wabupnya) atau dengan mantan bawahanya Kepala Dinas Nakerdukcapil.
Dalam aturan demokrasi yang berlaku di Republic ini “lago sakandang ataupun batandiang sasudah basandiang” boleh-boleh saja. Sejak bergulirnya era reformasi hampir di setiap pilkada bahkan dalam Pilpres “lago sakandang” juga terjadi yaitu Gus Dur vs Mega, Mega vs Hamzah, Mega vs SBY. Dalam Pilpres 2009 banyak pengamat memperkirakan Duet SBY-JK akan berubah jadi SBY vs JK.
Tetapi bagi masyarakat “permainan politik” seperti itu akan membuat rakyat menjadi bosan dan enggan untuk memilih. Bosan, be-te…. Capek deeh! Setiap pemilu yang muncul sebagai caon itu ke itu juga loe lagi-loe lagi atau 4 L kata orang Betawi!. Padahal ketika sebelumnya mempunyai jabatan entah itu sebagai Wabup, Sekda atau Kepala Dinas mereka tidak mampu menyenangkan hati dan mengenyangkan perut rakyat.
Lucunya ketika menjadi calon kepala Daerah dan berkampanye mereka mengatakan : jika saya menang Pilkada dan jadi Kepala Daerah, saya mampu berbuat lebih baik dari pejabat sebelumya kalaupun ada yang bertanya kenapa sewaktu jadi Wakil, Sekda atau Kepala Dians tidak ada Prestasi? O,saya kan masih jadi anak buah, kaalu saya yang jadi Bupati saya akan begini akan begitu.. pokoknya saya akan berbuat lebih baik, percayalah!.
Seharusnya karena tujuan akhir dari Jabatan Politik seperti kepala Daerah maupun Anggota Legistalif adalah memperjuangkan hak-hak rakyat dan mensejahterahkan masyarakat, maka para tokoh tersebut telah harus berbuat sejak awal dan tidak harus menunggu jadi pejabat nomor satu dulu baru berbuat. Kalau saat ini menjabat sebagai wakil Kepala Daerah, sebagai Sekda, atau Kepala Dinas maka berbuatlah demi rakyat dengan jabatan tesebut.
Kian hari masyarakat kita semakin pintar, kalau ada pejabat yang berkoar-koar dan mengatakan “kalau saya jadi Bupati saya berbuat lebih baik demi rakyat”. Maka rakyat badarai pun akan berkata, “Kalau den jadi Bupati! den bisa lo co itu! Rakyat butuh bukti bukan janji, dan bagi rakyat kita yang terpenting adalah lebih baik makan karupuak hari ini dari pada makan roti tapi besok.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 3 Januari 2008, Hal 1

Bukan Tidak Mampu, Tetapi Tidak Mau

Dalam mengatasi masalah banjir di dataran rendah Agam (Manggopoh, Tiku dan sekitarnya), Wakil Bupati Agam Ardinal Hasan mengatakan: “jika dialokasikan dari APBD, jelas tidak akan mencukupi, dan APBD tidak akan sanggup membiayainya”. Untuk itu dibutuhkan dukungan dana dari APBD Propinsi dan APBN.
Begitulah para pejabat kita, bukan hanya di Agam, di daerah lain “samo sajo”, mereka tidak berpihak dan tidak peduli pada masyarakat di bawah. Setiap yang bicara “rakyat badarai” selalu dianggap remeh, meminta bantuan karena bencana alam, banjir, gempa atau longsor, para “pemimpin” kita itu selalu berkata “ tidak ada dana APBD, kita tunggu bantuan dari propinsi atau bantuan dari Jakarta, proposal sedang kita susun”.
Jika tidak ada dianggarkan untuk bantuan bencana atau bantuan untuk rakyat miskin, untuk apa APBD yang ratusan milyar rupiah itu? Dibelanjakan kemana “uang rakyat” sebanyak itu? “Bohong dan salah besar” apabila pejabat daerah mengatakan tidak ada alokasi dana untuk itu, PAD kita kecil, APBD kita tidak mampu!. Saya katakan bohong karena banyak anggaran di “ kavling” untuk hal-hal yang tidak lebih penting dari pada bantuan bencana dan bantuan untuk rakyat miskin.
Anggaran untuk Tunjangan Daerah (Tunda) misalnya, milyaran rupiah dibagi-bagi setiap bulannya dengan alasan untuk tunjangan beban kinerja,  mengacu semangat kerja, padahal semua itu tidak lain dari akal-akalan para pejabat eselonering untuk meningkatkan penghasilan. Sampai saat ini tidak ada perubahan atau perbaikan kinerja sebelum ada Tunda dengan setelah ada Tunda, tidak lebih cepat dan juga tidak lebih murah, yang tersenyum dengan adanya Tunda adalah mereka yang se-level Kepala Dinas, setelah Pemerintah Pusat memberikan kenaikan tujangan eselon II menjadi besar Rp. 2 Juta/bulan, daerah juga menambah Rp. 2 Juta/bulan dalam bentuk tunda, padahal kerjaan dan tanggung jawab mereka tidak bertambah.
Saya katakana “salah besar” karena seorang Kepala Pemerintahan Daerah Otonomi harus tau bahwa APBD diprioritaskan utnuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuni kewajiban daerah bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, setelah dicermati UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahtahn Daerah dapat disimpulkan bahwa, pemberian oronomi luas kepada daerah pada hakikatnya selalu berorientasi pada peningkatan kesejahterahan masyarakat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat tersebut.
Jika APBD mampu memberi Tunda kepada para aparatur yang jumlahnya hanya sekitar 2% dari keseluruhan masyarakat kenapa tidak untuk kebutuhan masyarakat? Padahal gaji dan tunjangan PNS Daerah telah disediakan dengan menggunakan Dana Alokasi Dasar yang ditetapkan secara nasional. Jadi sesungguhnya bukan APBD yang tidak mampu tetapi kitanya yang tidak mau memberdayakan masyarakat demi peningkatan kesejaterahan rakyat. Betulkan, Pak!

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Rabu tanggal 7 Nopember 2007, Hal 1

Sunday, December 20, 2015

Budaya Suap Menyuap

Heboh tertangkap tangannya Irawady Joenoes Anggota Komisi Yudisial (KY) oleh Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin mempertegas bahwa di Negara kita praktek suap dan korupsi sudah menjadi budaya yang “tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan”. Korupsi bukan dianggap perbuatan yang memalukan, sanksi hukum yang disiapkan untuk para Koruptor tidak membuat banyak orang takut untuk melakukan perbuatan maling tersebut.
Kita hampir tak pernah istirahat untuk terus membaca dan menyimak berita kasus-kasus korupsi. Belum reda tudingan PBB terhadap mantan Presidan Soeharto yang menguasai asset negara kita antara 15-35 Milyar Dolar AS atau Rp. 135-315 Triliyun!, kita dikejutkan lagi dengan dugaan uang suap sebesar Rp. 600 juta + 30 ribu Dolar AS yang diterima oleh Irwady Joenoes yang bertugas sebagai Pengawas Kinerja Hakim dengan jabatan Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim.
Dan kita tentunya juga masih ingat kasus para perwira tinggi Mabes Polri yang menerima uang suap sebesar Rp. 500 juta dari Adrian Woworuntu tersangka korupsi penilapan dana BNI senilai Rp. 1.2 triliun. Atau kasus Mulyana W Kusumah anggota KPU yang tertangkap tangan ketika menyuap Hariansyah staf auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp. 150 juta. Disamping “kasus-kasus super suap” tersebut, setiap hari kita bisa melihat dengan kasat mata pratek suap menyuap di sekeliling kita, bisa dikatakan tidak ada satu urusan pun yang terbebas dari suap. Dan sangatlah sulit mencari orang yang tidak pernah ikut pratek suap  menyuap, kecuali (mungkin) bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil dan tidak pernah berurusan birokrasi.
Dari kebiasaan memberikan imbalan uang atau benda kepada pihak tertentu agar urusannya di permudah inilah lingkaran setan korupsi menjadi budaya. Seorang yang memberi suap ketika menjadi pegawai/aparat dan menyuap untuk dapat jabatan, akan meminta imbalan ketika menjalankan tugasnya. Atau calon Kepala Daerah yang membayar rakyat untuk memilihnya, ketika terpilih akan berusaha mengembalikan modal politiknya. Selanjutnya untuk mengamankan posisi; bawahan memberikan setoran (suap) ke atasannya, Eksekutif menyuap Legislatif, Polisi, Jaksa, KPK, BPK, dan lain-lain, sehingga terjadilah apa yang di sebut dengan korupsi atau pencuri uang Negara, yang seharusnya menjadi hak rakyat ternyata masuk kedalam saku, tas dan rekening pribadi.
Secara sistem hukum dan administari publik kita telah mempunyai institusi dan regulasi yang mendukung pemberantasan pratek suap dan korupsi. Kita banyak punya lembaga pengawasan mulai dari Bawasda di tingkat daerah sampai  KPK di tingkat pusat, kita juga punya puluhan peraturan perundang-undang yang “ anti korupsi”. Kini tinggal masalah perilaku, budaya dan kebiasaan melakukan suap menyuap, yang juga telah  sampai ke daerah kita sehingga ada yang mengartikan Sumbar “Semua Urusan Mesti Bayar”. Untuk itu diperlukan komitmen kita secara bersama-sama menegakkan dan mengembalikan moralitas sebagai umat yang beragama dan masyarakat yang beradat sebagai dasar motivasi, inspirasi dan pedoman dalam langkah memberantas budaya suap menyuap maupun korupsi. Malu awak Pak!, kalau daerah yang dijuluki Serambi Mekkah, Daerah Madani atau ditengah-tengah masyarakat yang terkenal adat istiadatnya ternyata perilaku suap menyuap juga telah membudaya.    

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Senin tanggal 1 Oktober 2007, Hal 1

Pelajaran dari “GAMPO”!

Belakangan Gempa sudah menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat kita, goyang sedikit semua pada berhamburan keluar rumah, ke luar gedung menghindar agar tidak tertimpa bagunan. Fenomena ini disebabkan bahwa kita tidak mempercayai bangunan-bangunan yang ada sekarang, padahal semua itu di rancang oleh para arsitektur yang telah bersekolah tinggi dengan menggunakan bahan beton, semen dan besi. Bagaimana tidak, jangankan rumah penduduk, Rumah Bagonjong Kantor Gubernur Sumatra Barat yang dibangun dengan biaya besar itu terancam ambruk, membuat semua pegawai termasuk Gubernur dan Wakil Gubernur tidak lagi nyaman di dalamnya.
Mengingat daerah kita yang rawan Gempa, inyiak moyang urang awak telah mengantisipasinya dengan membuat bangunan berupa Rumah Gadang yang dilukiskan dengan kata-kata Rumah Gadang sambilan ruang, salanjo kudo manari, sapakiak budak maimbau, sajariah kubin malayang, gonjong rabuang mambasuik, parabuangannyo si ulu gerang, jariahnyo puyuah balari, tiang panjang maharajo lelo.
Walaupun tegaknya tidak vertikal dan terlihat mudah roboh, Rumah Gadang sangat tahan terhadap guncangan gempa maupun terpaan angin puting beliung. Para insinyur bangunan-bangunan Minang tempo doeloe telah merancang bangunan sesuai dengan kondisi alam, bukan sekedar pemanfaatan apa yang ada pada waktu itu, tetapi sesuai dangan teori urang awak “bakarano bakajadian”, tidak mempergunakan paku bukan karena sekedar karena belum ada paku waktu itu tetapi karena dengan menggunakan “pasak” yang berfungsi sebagai engsel bangunan menjadi fleksibel ketika gempa mengguncang.
Sayangnya karya monumental tersebut hanya kita sikapi sebagai sebuah warisan seni bukan sebagai wasiat, kita hanya membuat Rumah Gadang untuk museum sejarah tempat bernostalgia. Kita hanya meniru-niru “gonjong”nya pada bagunan-bangunan kantor, halte bus dan gerbang pagar. Kita tidak pernah mau untuk menggali dan mengkaji, baa kok bagonjong? Baa kok tiangnyo indak ditanam ka dalam tanah?
Salah satu pesan penting dari permukaan dinding depan Rumah Gadang penuh dengan ukiran-ukiran yaitu “Alam Takambang Jadi Guru”. Untuk jika akhirnya Kantor Gubernur kita memang benar-benar ambruk, hendaknya dimaknai bukan sebagai runtuhnya sebuah bangunan gedung, tatapi sebagai sebuah peringatan bahwa kita telah salah menjalankan “wasiat”.
Kita bangga menjadi orang Minangkabau, karena adat budaya dan alamnya sangat indah tiada duanya di dunia ini sehingga banyak di kunjungi banyak turis. Tetapi kita meniggalkan semua apa yang dikagumi orang lain itu, kita tidak lagi seperti orang Minang, bertutur, berpakaian, bergaul, bermasyarakat, daerah kita tidak lagi mencerminkan Ranah Minang. Tak ada lagi Rumah Gadang Bagonjong Limo kecuali di “Kebun Bintang” Bukittinggi dan di Minang Village Padang Panjang. Tak ada lagi pasar tradisional, tak ada lagi amai-amai yang manggaleh karena semua berubah jadi Mall dengan pelayan gadis-gadis muda yang cantik. Kita tidak sadar telah terbuai dengan mimpi hidup di masa depan, kita merasa malu dengan semua pernak-pernik Tradisional Kuno Minangkabau.
Tidak cukup kuatkah gempa kemarin membuat kita sadar untuk kembali ke khittah Minangkabau?.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 20 September 2007, Hal 1

Stop Tunjada!

Sebagaimana pernah diungkapkan pada tulisan sebelumnya, pemberian Tunjangan Daerah (Tunjada) ternyata menimbulkan polemik di berbagai daerah, protes dan rasa tidak puas bermunculan akibat pembagian yang tidak adil. Di Kabupaten Agam misalnya, sejak awal telah terjadi “ribut-ribut” akibat komposisi Tunjada yang sangat timpang, dan terakhir diberitakan koran ini dengan judul “Guru-guru di Agam tak puas Kenaikan Tunjada Sangat kecil” (Senin, 17/09/07).
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Pasal 167 ayat (1) dinyatakan belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22. Selanjutnya, oleh ayat (2) ditegaskan “perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial”.
Berdasarkan UU Pemda tersebut maupun peraturan lainnya, jelas tidak ada “petunjuk” yang bisa dijadikan “alasan pembenaran” mengalokasikan dana APBD untuk kesejaheraan para aparatur Pemda. Apalagi jika dihitung secara presentase jumlah PNS Daerah beserta Pegawai Tidak Tetap tidak sampai mencapai angka 10% dari seluruh masyarakat di daerah tersebut. Dan sampai saat ini manajemen kepegawaian masih dikelola oleh pusat mulai dari penetapan NIP hingga Pensiun, termasuk besaran gaji dan tunjangan pejabatannya disediakan dengan menggunakan Dana Alokasi Dasar yang ditetapkan secara nasional merupakan bagian dalam Dana Alokasi Umum (DAU) yang dinyatakan secara tegas.
Ketika rakyat yang menderita akibat bencana alam atau yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak tertanggulangi dengan alasan APBD masih dikavling untuk Tunjada. Apalagi ada indikasi “tidak beres” dalam menetapkan pembagian jumlah Tunjada, yang berpangkat tinggi dan kerjanya duduk-duduk saja dapat besar, yang mengetik surat, menyapu kantor bahkan sang Guru yang berprofesi sebagai pendidik Cuma dapat secuil.
Apakah Tunjada termasuk korupsi atau tidak tentunya perlu diuji secara hukum formil, tetapi mengatasi permasalahan ini tentunya akan lebih baik jika dikembalikan kepada sensitifitas nurani Para Pemimpin Daerah, dan itu pasti bisa, karena pemimpin itu seharusnya kuat, amanah dan berorientasi pada kepentingan masyarakat dan bertanggung jawab penuh terhadap segala persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pemimpin ulir amri yang sadar bahwa amanah jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya harus dipergunakan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya, sehingga ia akan berusaha untuk berlaku adil dan berusaha untuk melindungi kepentingan masyarakat, terutama kaum yang lemah.
Karenanya, di bulan suci ini kita mengetuk hati para Kepala Daerah atau anggota DPRD yang mempunyai otoritas dalam hal ini, hentikan Tunjada, alihkan untuk penanggulangan kemiskinan atau bantuan untuk masyarakat yang kena bencana!.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Rabu tanggal 19 September 2007, Hal 1

Jangan Korupsi di Bulan Puasa!

Syukur Alhamdulillah kia masih dapat bersama-sama merasakan nikmatnya bulan Ramadhan 1428 H, Ramadhan merupakan rajanya bulan karena banyak sekali keistimawaan dan pahala yang dilipatgandakan oleh Allah SWT. Puasa menurut syariat ialah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa (seperti makan, minum, hubungan kelamin dan sebagainya) semenjak terbit fajar sampai terbenamnya matahari, dengan disertai niat ibadah kepada Allah, karena mengharapkan ridha-nya dan menyiapkan diri guna meningkatkan Takwa kepadanya.
Untuk itu, hendaknya kita tidak menjadikan puasa hanya sebagai tameng dalam mengarungi hidup. Sebelas bulan melakukan tindakan melawan hukum, mengeksploitasi uang rakyat demi meraih predikat “Urang Bapitih”, berbuat dosa tetapi berlagak jadi “Urang Siak”, menyucikan diri di saat Ramadhan. Pura-pura beramal salih dan pura-pura berbuat baik kepada fakir miskin, bersedekah dengan uang haram.
Melakukan korupsi bukan lagi hal tercela dan memalukan; seakan sudah menjadi profesi banyak orang terutama para aparatur pemerintahan. Padahal mereka telah bersumpah di bawah kitab suci tidak akan menerima sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung bisa mempengaruhi pekerjaannya. Bahkan mantan Menteri Agama Said Agil Al Munawar divonis penjara karena mengkorupsi dana haji.
Kalau Menteri Agama saja sudah korupsi, masihkah kita bisa percaya bahwa Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) beserta jajarannya, serta Polisi, Jaksa dan Hakim tidak korupsi? Walaupun sulit dibuktikan, tetapi lebih sulit untuk mengatakan mereka tidak korupsi. Mereka tidak merasa malu berprofesi sebagai “Maliang” uang rakyat bahkan menyombongkan diri dengan uang hasil “Mancilok” untuk membuat rumah megah, membeli mobil, membayar uang sekolah anak bahkan mengenyangkan perut keluarga. Mereka hanya merasa malu ketika tidak punya mobil pribadi, hanya memiliki 1 rumah, tidak menyekolahkan anak ke Pulau Jawa atau ke luar negeri.
Mereka tidak takut lagi pada instrument pemberantasan korupsi, buku KUHP dianggap sebagai “Kasih Uang Habis Perkara”, KPK, BPK apalagi Bawasda bukan lagi institusi yang menakutkan karena dengan angpau, oleh-oleh dan service  yang wah kasus bisa ditutup.
Sungguh sangat memalukan melihat Sumatra Barat yang hampir seluruh warganya adalah umat islam yang

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 13 September 2007, Hal 1

Mutasi, Prerogatif Siapa?

Mutasi yang ditunggn-tunggu datang juga, sebanyak 32 pejabat eselon II Provinsi Sumatra Barat telah dilantik oleh Gunawan Fauzi, selasa 28 Agustus 2007 kemarin. Kasak-kusuk, bisik-bisik dan spekulasi siapa menggeser siapa, yang naik kelas atau non job jelas sudah. “Aia gadang” itu juga akan  mengakibatkan “galodo”, karena mutasi tersebut ibarat lokomotif yang menarik gerbong di belakangnya, atau dengan kata lain juga akan terjadi mutasi promosi susulan untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan pejabat yang naik kelas. Gunawan Fauzi dan Marlis Rahman (Gama) berencana mempersiapkan kontrak kerja dengan para Anggota Kabinet barunya, kalau dalam enam bulan berkinerja bagus “go ahead”, kalau tidak belum akan dapat tempat.
Banyak yang memuji langkah Gama merekrut 3 (tiga) pejabat dari daerah (Kabupaten) untuk ikut berkiprah di Pemerintahan Provinsi. Walau pun bukan hal yang baru, tetapi langkah kali ini cenderung bermakna karena para pejabat tersebut sebelumnya “hanya” Eselon II-b di kabupaten. Langkah ini mungkin “meniru” apa yang dilakukan Presiden ketika mengangkat Pejabat Daerah (Gubernur) jadi Menteri.
Satu hal yang mungkin terlupakan adalah “kapasitas” Sekretaris Daerah (Sekda) dalam proses mutasi promosi pejabat struktural tersebut. Hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah kabupaten/kota bahkan di seluruh Indonesia. Pertanyaanya,  siapa sesungguhnya yang punya hak prerogatif mengangkat dan memberhentikan pejabat struktural? Gubernur, Bupati/Walikota atau Sekda?
Pada saat ini masih terdapat kerancuan mengenai siapa Pembina kepegawaian di Daerah. Dalam Pasal 30 UU No. 32 Tahun 2004 (UU Pemda) dinyatakan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur. Jika pasal ini yang dijadikan dasar, jelas Gubernur atau kepala Daerah yang punya Hak Prerogatif, seperti Hak Prerogatif Presidan dalam mengangkat dan memberhentikan Mentri.
Tetapi prinsip lain yang dianut UU pemda tersebut adalah memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekruitmennya maupun kedudukan, tugas, wewenag, fungsi dan pembinaannya. Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada Pemerintah Daerah. Untuk itu seharusnya Sekda sebagai pejabat Struktural tertinggi atas nama pemerintah pusat bertanggung jawab sebagai Pembina Kepegawaian di daeahnya.
Adalah tidak logis jika Kepala Daerah yang notabene pejabat politis membina pejabat karier karena bagaimanapun juga sangat sulit untuk menghindari nuansa politis dalam setiap kebijakannya.
Hendaknya hal ini jadi wacana kita semua, bahwa perlu ketegasan perbedaan dan pemisahan antara jabatan karier dengan jabatan politis, agar Kepala Daerah tidak terjebak seperti layaknya seorang Presiden ketika mengangkat/memberhentikan Mentri, karena Menteri bukanlah jabatan karier seperti halnya jabatan Sruktural bagi PNS. Juga, supaya kapasitas dan posisi Sekda sebagai Top Career di daerah bisa lebih “terlihat”, bukan lagi sekedar tukang paraf.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Jum’at tanggal 31 Agustus 2007, Hal 1

Mimpi Mencerdaskan Bangsa

Kemungkinan turunnya Anggaran Pendidikan dari 11,8% pada APBN 2007 menjadi hanya 9,8% pada APBN 2008, membuktikan bahwa tidak adanya kepedulian otoritas Negara terhadap Bangsa ini. Di samping itu sekaligus membuktikan bahwa penyelenggaraan pemerintah tidak “menghargai” konstitusi, karena sebelumnya Makamah Konstitusi (MK) telah menvonis APBN 2007 melanggar Pasal 31 UUD 1945 yang mewajibkan 20% dari APBN dialokasikan untuk pendidikan.
Jika kita renungkan lebih dalam, keinginan para Faunding Father Republik Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang telah diwasiatkan dalam mukadimah UUD 1945 masih laksana cita-cita yang tergantung di langit tinggi.
Bukankah rahasia, jika Alokasi Anggaran Pendidikan yang terdapat dalam APBN muapun APBD selama ini adalah Anggaran untuk Departemen atau Dinas/Kantor Pendidikan. Yang jika dilihat, lebih dari setengahnya dipergunakan untuk belanja Pegawai seperti untuk gaji, tunjangan, honor dan perjalanan dinas, sisanya untuk belanja barang dan jasa. Sedangkan jumlah uang yang dipergunakan  dan berhubungan langsung atau memberi efek bagi kemajuan pendidikan hanyalah sebagian kecil saja. Padahal, dalam UU 20/2003 (UU Sisdiknas) ditegaskan bahwa yang dimaksud dana pendidikan itu tidak termasuk gaji pendidikan dan biaya pendidikan kedinasan.
Ketika MK menyatakan APBN 2007 yang diundangkan dengan nomor 18 Tahun 2006 melanggar Konstitusi, otomatis seluruh APBD tahun 2007 yang telah di-Perda-kan juga telah menyalahi PerturanPerundang-Undangan  yang masih berlaku karena dalam konsiderannya pada dictum mengingat mencantumkan UU APBN, kecuali yang meanggarkan 20 persen atau lebih untuk kemajuan pendidikan di daerahnya.
Bukan itu saja, mentang-mentang ada lagunya, kita cenderung kurang menghargai jasa para Guru dengan memberikan gaji dan tunjangan serta fasilitas yang minim. Kita memujinya sebagai pahlawan tetapi dengan tega tidak memberikan imbalan atau tanda jasa padahal guru adalah profesi yang mestinya dihargai dan diposisikan sebagai mana aparatur pemerintah lainnya seperti Dokter, TNI, Polri, Jaksa dan lain-lain.
Mudah-mudahan kita masih sadar dan mempercayai, “bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah karena rendahnya ilmu pengetahuan yang dimiliki, dan solusi terbaik mengatasi kemiskinan adalah dengan cara meningkatkan pendidikan.”
Akhirnya, kepala Gubernur, Bupati atau Walikota beserta DPRD yang memegang otoritas untuk menyusun, merancang hingga mengesahkan APBD, kita do’a kan tidak berpengaruh dan ikut-ikutan menurunkan Alokasi Anggaran untuk pendidikan di daerah ini sebagaimana yang diindikasikan oleh Pemerintah Pusat, supaya cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekedar mimpi. Semoga!

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 9 Agustus 2007, Hal 1

Rindu Minangkabau

Mau dibawa kemana atau mau dijadikan apa Sumatra Barat 20 Tahun ke depan? Mungkin itu pertanyaan pokok ditengah-tengah lokakarya penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Sumatra Barat yang sedang berlangsung. Secara ekstrim tak perlu RPJP! Karena saat ini Sumatra Barat sudah hebat di segala bidang! Para Bupati dan Walikota kita sangat banyak yang berprestasi, Anugrah ini, Satya Lencana itu, Piala dan pigam silih berganti dibawa dari Istana Presiden di Jakarta. Bahkan banyak daerah punya visi dan misi yang sangat rancak, Kota Beriman, Kabupaten Madani. Pembangunan sudah sangat pesat, jalan-jalan sudah diaspal, by pas, dua jalur bahkan tak lama lagi kita akan mempunyai jalan layang di kelok 9.
Tetapi jikok diinok-inokan bana, kemajuan Sumatra Barat yang ada saat ini hanyalah pembangunan fisik belaka. Kita membangun Sumatra Barat dengan citra Minangkabau tanpa membangkitkan roh Minangkabau yang telah lama hilang. Kita rindu pada Minangkabau tetapi tidak tahu cara mengobati rasa taragak tersebut. Kita hanya membuat gonjong-gonjong pada bangunan kantor, gerbang batas daerah, halte dan banguna wisata. Kita memasang marawa merah-kuning-hitam hanya sebagai umbul-umbul. Banyak dari kita yang Batagak Pangulu ketika akan ada alek demokrasi. Kita berbahasa minang ketika kehabisan kosa kata Bahasa Indonesia dalam berbicara. Bahkan kita memberi nama Minangkabau pada Bandar Udara Internasional sebagai tanda Minangkabau itu di Sumatra Barat.
Kita terjebak pada visi dan misi yang sangat jauh ke depan sehingga kita lupa awal tempat kita berpijak. Kita terlalu ingin cepat berhasil padahal kita butuh proses. Kita memasang plang daerah sebagai kota Beriman tetapi sangat banyak kejadian dan perbuatan maksiat di dalamnya. Kita bangga menyebut diri sebagai Kabupaten Madani tetapi di setiap sudut banyak kedai koa dan domino yang ramai ketika kumandang azan terdengar. Mesjid dan surau kita banyak tetapi lengang, anak-anak sekolah kita berpakaian muslim tetapi kelakuan mereka….?
Oleh karena itu, yang kita butuhkan saat ini dan nantinya adalah character building sebagai Urang Minang yang beradat, kita tak perlu ikut gaya orang lain. Karena itulah yang membuat orang lain kenal Sumatra Barat, doeloe ada Hatta, Agus Salim, Syahrir, Hamka dan banyak lagi yang lain, yang punya reputasi bukan hanya Nasional tetapi juga Internasional. Kita dikenal sebagai gudangnya orang pintar, jujur dan religius. Daerah kita dikenal sangat aman dan nyaman sebagai tujuan menimba ilmu bagi yang muda dan berlibur bagi orang yang berduit. Untuk itu kita harus kembali menggali, menghidupkan dan menbangkitkan Minangkabau sesungguhnya. Kesimpulan RPJP kita seharusnya adalah Mambangkik Batang Tarandam.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Senin tanggal 30 Juli 2007, Hal 1

Peluang Calon Independen

Akhirnya, Makamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan bahwa calon dari Non Partai Politik (Parpol) atau calon independen boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah. UU Pemda Pasal 56 ayat (2), 59 ayat (1,2 dan 3) yang mengharuskan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan tertentu dihapus karena bertentangan dengan UUD 1945.
Keputusan MK ini bagi banyak pihak tentu disambut suka-cita, karena tanpa berpolitik dalam arti tidak berhubungan, tidak menjadi anggota/pengurus bahkan tak perlu mendaftar untuk dicalonkan oleh Parpol bisa ikut kegiatan (Politik ) pemilihan kepala pemerintah daerah. Pilkada di Nangro Aceh Darussalam telah memberi contoh, Gubernur dan Wakilnya, serta Bupati dan Wakil bupati terpilih berasal dari calon independen alias bukan dari yang diusulkan Parpol.
Di sisi lain banyak Parpol yang meradang dengan keputsan tersebut. Bagaimana tidak, selama ini Parpol merupakan satu-satunya loket penjualan tiket untuk ikut ajang Pilkada. Partai Golkar dan PDIP sebagai pengusung terbanyak Kepala Daerah menganggap Keputusan Hakim MK tersebut sebagai hal yang aneh ditengah realita sosial Politik.
Ajang lima tahunan tersebut cenderung menjadi lahan bisnis, Parpol seakan hanya berfungsi sebagai mobil rental karena jarang sekali calon yang berasal dari pengurus/anggota Parpol. “penyewa” yang berasal dari luar partai harus membayar ongkos tanda jadi (DP) yang mahal untuk ikut proses sebagai peserta Pilkada. Mereka cenderung menjadi objek pemerasan, sebab “tanda jadi” tersebut baru untuk sebagai pendaftaran calon kepala daerah saja dan belum tentu diterima dan diloloskan menjadi calon yang diajukan dan diikutkan dalam Pilkada.
Terbukanya kesempatan bagi calon independen akan banyak membawa kebaikan, mau tidak mau Parpol harus berbenah dan mempersiapkan kadernya untuk diterjunkan dalam ajang Pilkada. Sebab dukungan Parpol bukan lagi syarat mutlak, karena dengan dukungan Non Parpol pun bisa. Para akademisi, birokrat, pakar, kaum professional dan tokoh masyarakat yang mempunyai popularitas dan selama ini menahan diri, berposisi netral yang tidak menjadi pengurus, anggota dan simpatisan Parpol tentunya akan menjadi lawan tangguh bagi calon-calon dari Parpol.
Calon independen juga akan (diharapkan) mengurangi ongkos politik, tidak harus membeli dukungan atau dengan kata lain tidak mesti menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang milyaran rupiah untuk mendapatkan posisi Gubernur, Bupati/Walikota. Karena semakin besar uang diinvestasikan untuk meraih kursi Kepala Pemerintah Daerah Otonom maka semakin banyak APBD yang dialokasikan untuk mengembalikan modal tersebut.
Dengan ‘kado’ dari MK tersebut imej pencalonan menjadi Kepala Daerah hanya boleh diikuti oleh milyader dan hampir tidak ada peluang bagi tokoh berkantong tipis, sekalipun mungkin mereka memiliki komitmen, tekat dan program yang bagus, bisa dihilangkan. Agar persepsi bahwa demokrasi atau politik itu memang mahal, perlu investasi besar, seolah-olah tanpa uang yang banyak demokrasi tidak bisa berjalan adalah keliru. Karena sesungguhnya kita sudah bisa melihat dan merasakan pesta politik dengan biaya murah dan hemat tanpa mengurangi nilai-nilai demokratis yaitu pemilihan Wali Nagari atau dulunya Pilkades. Bukankah Wali Nagari itu berasal dari calon independen yang dipilih secara langsung.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 26 Juli 2007, Hal 1

Revisi Tunda Agam

Pemberian Tunjangan Daerah (Tunda) Kab. Agam yang menuai protes dari kalangan pendidik (guru). Jjika dicermati lebih dalam memang pantas jadi masalah, selain mengusik rasa keadilan guru (5000 dari 7000 PNS Agam) secara aturan formal ada yang tidak pas pada kebijakan Bupati tersebut.
Sebagaimana diketahui Pemerintah Pusat melalui Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan (PMK) Nomor 22/PMK.05/2007 tentang Pemberian Uang Makan Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebesar Rp 10.000/hari dengan jumlah maksimal 22 hari kerja/bulan. Kenyataannya Bupati Agam mengeluarkan SK. Nomor 231 Tahun 2007 tentang Pemberian Tunjangan Daerah dan Bantuan Kesejahteraan Bagi Bupati, Wakil Bupati, PNS dan Pegawai Tidak Tetap (PTT), dimana ada 7 (tujuh) jabatan yaitu Auditor Gol. II, Pengawas/Kepala Sekolah, fungsional Non Guru, Guru PNS, Staf Non Eselon, PTT dan Guru Bantu yang menerima antara Rp 100.000 Rp 200.000/bulan. SK Bupati Agam secara finansial sangat merugikan mereka karena jika yang dipakai PMK ada kemungkinan mereka maksimal bisa menerima Rp 220.000/bulan!. Di sisi lain sangat menguntungkan para Pejabat Eselonering dimana mereka yang seharusnya juga menerima Rp 220.000/bulan kenyataannya bisa mendapatkan Jutaan Rupiah perbulan.
Dilema PMK dan SK. Bupati yaitu jika yang dipakai PMK maka Bupati, Wakil Bupati dan PTT tidak menerima apa-apa, tetapi jika yang dipakai SK. Bupati maka tujuannya tidak tercapai. Tunda yang dimaksudkan untuk memperhatikan (meningkatkan) kesejahteraan Guru/Staf/PTT Kabupaten Agam pada hakikatnya telah berbenturan dengan peraturan lain. Untuk itu sebagaimana janji Bupati Agam dalam menanggapi keluhan para Guru di daerahnya SK tersebut akan ditinjau kembali, dan peninjauan harus dilakukan secara matang dan transparan agar kebijakan yang telah diputuskan tidak berbenturan dengan aturan lain.
Sebagai masukan kepada Bupati Agam, disamping mencoloknya interval antara kelompok Guru/PTT dengan Pejabat Struktural beserta Bupati/Wabup seharusnya nominal yang diterima kelompok  terendah adalah tidak lebih kecil dari Rp 220.000/bulan, karena kalau di bawah itu tentunya lebih baik PMK yang dipakai. Begitu pula dengan pen-samarataan antara eselon yang sama adalah tidak proporsional, misalnya Eselon III antara Kepala Bagian/Kepala Bidang dengan Camat karena kalau dihitung Beban Kerja dan Tanggung Jawab, Camat memiliki Wilayah kerja yang luas dan Tanggung Jawab permasalahan yang sangat komplek menyangkut masyarakat se-kecamatan.

Menyikapi hal ini tidak perlu menyalahkan siapa pun yang berperan dalam penerbitan SK Bupati Agam tersebut atau mencari-cari alasan pembenaran, tetapi yang penting adalah bukti konkret bahwa setelah di-revisi nantinya, Tunda memang memperhatikan dan mensejahterakan seluruh staf (Guru/PTT) bukan sebaliknya!

Tulisan ini dimuat di Haluan

Padang Perlu Perda Kos-Kosan

Minggu lalu hampir bersamaan dengan berita keberhasilan Kota Padang (Sumatera Barat) meraih predikat penghargaan Adipura, kita juga dikejutkan dengan berita tentang rekaman siswa-siswi SMA berseragam Pramuka yang mengumbar mesum diatas sebuah mobil dan berita (rutin) tentang pengebrekan sepasang mahasiswa di sebuah rumah kos dan masih banyak lagi cerita (mesum dan kriminal) lain yang pelakunya anak kos atau yang kejadiannya di tempat kos yang tidak terpantau atau terberitakan oleh media di Padang Kota Tercinta.
Salah satu penyebab rawannya penyalah-gunaan tempat kos adalah karena saat ini kos-kosan atau permondokan telah menjadi ladang bisnis baru sehingga antara pemilik dan penyewa sebatas hubungan dagang layaknya orang yang menyewakan kamar hotel. Yang penting ada uang masuk, setelah urusan bayar selesai tak ada kontrol kecuali yang sebatas mentaati peraturan daerah atau peraturan perundangan lainnya. Oleh pemilik, longarnya pengawasan dilakukan karena pertimbangan bisnis bahwa kos-kosan atau memondokan yang terlalu mencampuri urusan penyewa akan dijauhi oleh caon penyewa dengan alasan kenyamanan.
Seiring kemajuan Kota Padang (dan daerah lainnya di Sumatera Barat) kos-kosan/ pemondokan sudah seharusnya ditata dengan sedemikian rupa dengan peraturan daerah tersendiri. Bukan hanya ditumpangkan pada Perda Nomor 4 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Perda Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyakat. Perda mengenai kos-kosan atau pemondokan juga bukanlah barang baru karena sudah banyak daerah yang telah melaksanakannya sejak awal tahun 2000, seperti Kota Salatiga dan Kota Malang serta kota-kota lainnya.
Perda mengenai kos-kosan/pemondokan harus mempertimbangkan banyak hal secara konprehensif seingga tidak meninbukan biaya tinggi bagi pemilik atau penyewa. Salah satu aturan penting adalah bahwa pemilik harus membuat kos-kosan terpisah, penyewa pria dan wanita tidak dicampur dalam satu bangunan dan kewajiban untuk membuat aturan jam malam dan tamu yang datang.
Pengaturan masalah Kos-Kosan/Pemondokan hendaknya juga tidak berorientasi pada peningkatan PAD semata tetapi juga untuk mengatisipasi terjadinya perbuatan-perbuatan asusila dean kejahatan lainnya di tempat kos yang pada gilirannya menjaga citra/nama baik Padang sebagai Kota Bersih Lingkungan, kota pusat pendidikan dan ibu Kota Sumatera Barat.
Sebelum terlambat, perda tantang kos-kosan/pemondokan merupakan hal sangat penting dan segera yang harus disiapkan oleh Otoritas Kota padang, karena kita semua tentunya tidak ingin dihebohkan dengan berita terungkapnya kos-kosan sebagai tempat dugem dan prostitusi terselubung atau sebagai pabrik ekstasi, atau penangkapan anggota jaringan teroris di salah tempat kos di Kota Padang atau kota lainnya di Sumatera Barat.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Sabtu tanggal …. Juni 2007, Hal 1

Kita Gagal UN!

Kenaikan peringkat ataupun presentase kelulusan Ujian Nasional (UN) disikapi otoritas pendidik di daerah ini sebagai parameter hasil pendidikan. Banyak sorak sorai, puja-puji dan ucapan selamat ketika melihat daerah atau sekolahnya berada di rangking atas daftar presentase kelulusan.
Oleh para pejajar dan siswa keberhasilam melewati UN disikapi dengan coret-coret seragam dan ramai-ramai raun sabalik. Bagi mereka lulus UN berarti sama dengan Santiang alias pintar, dan selanjutnya mereka akan memperoleh tanda lulus atau Sertifikat Tanda Tidak Bodoh.
Secara nasional tahun ini kita berhasil meningkatkan presentase tidngkat kelulusan bahkan meraih sederet mendali olimpiade adu pintar se-dunia tetapi disisi lain terjadi juga peningkatan ulah cabul yang dilakukan anak-anak berseragam sekolah.
Begitu juga di Sumatera Barat, kita mempunyai citra pendidikan yang bagus tetapi belakagnan kita juga disuguhi berita tentang bobroknya mental dan pelaku para peserta didik, rekaman mesum mahasiswa pada salah satu hotel di kota Padang, atau ulah cabul tiga anak SMA beseragam Pramuka di atas mobil, atau berita sepasang mahasiswa yang ditangkap basah warga di tempat kosnya, dan yang lebih tragis kasus kriminal anak SMA yang dibunuh pacar Satu sekolah karena hamil. Hal ini bukti kegagalan kita melakukan Character Bulding di Ranah yang dikenal sangat religius dan beradat.
Mengelola pendidikan tidak cukup dianggap sebagai tugas semata tetapi lebih dari itu yakni Responbility, tanggungjawab yang tidak selesai meskipun 100% lulus UN. Apapun lah namanya, Ujian Akhir, EBTANAS, UAN atau UN seharusnya menjadi tolak ukur kemampuan kita menyiapkan generasi muda yang cerdas agar nantinya menjadi urang nan bataratik (professional, religius dan beradat) yang tidak canggung hidup di rantau dan tak gagap ketika teknologi kian canggih.
Tolak ukur, apakah para penyelenggara pendidikan telah menyelengarakan pendidikan dengan benar, guru misalnya apakah terlah benar dalam mendidik mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi pelajar dan siswanya, apakah pemerintah (termasuk Pemda cq Dinas Pendidikan) telah jujur melaksanakan fungsi eksekutif, atau hanya sekedar menghabiskan besarnya uang anggaran pendidikan, pitih abih utang tak lansai!
Menurut penjelasan Pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas, kompetensi kelulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif) pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotorik). Bagi peserta didik, lulus UN sesungguhnya baru tahap awal larena ujian sesungguhnya adalah ketika telah berada di tengah-tengah masyarakat, apakah ilmu yang didapat di bangku sekolah bisa dikonversi sebagai modal mereka untuk menjadi manusia yang berguna bagi orang tua, Nusa dan Bangsa.
Keberhasilan maupun kegagalan peserta didik dalah cerminan kita, mereka akan mencontoh dan meniru perilaku serta menerima ataupun ilmu yang kita berikan misalnya jika kita biasa mengutip iuran maka kelak mereka akan terbiasa melakukan pungutan, jika guru ber-HP ria ketika sedang mengajar maka merekapun lebih pintar memanfaatkan HP.
Adalah wajar ketika ada diantara mereka yang berprestasi juara kita berebut klaim, o.. dia itu murid saya! Bahkan memang sudah seharusnya Pak Bubernur memberikan reward untuk 44 orang siswa yang nengantongi nilai tertinggi pada UN kemarin. Dan tentunya ketika mereka berbuat salah, kita pun tidak boleh memalingkan atau menutup muka karena apabila kita kencing berdiri, maka akan kencing sambil berlari.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Sabtu tanggal 27 Juni 2007, Hal 1

Salah Kita Memilih Pemimpin(n)!

Melihat aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang terungkap pada kasus korupsi dengan terdakwa Rokhmin Dahuri, sungguh membuat kita para rakyat (pemilih) tapurangah. Kenapa tidak, sebagaimana diungkapkan terdakwa pada persidangan bahwa dana nonbudgeter DKP mengalir kesemua pasangan calon pilpres 2004. Yang membantah (siapapun) mungkin secara personal tidak menerima langsung uang haram tersebut tatapi sebagai seorang khalifah seharusnya ia bisa membentengi orang-orang yang dipimpin dan disekitarnya (Tim Sukses dan Simpatisan) untuk tidak melangar hukum formal. Dengan kata lain semua pasangan calon Pilpres 2004 telah tercela yaitu patut dicurigai melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara memakai dana Negara (nonbudgeter DKP) untuk kepentingan kampanye.
Patut kita renungkan, menjelang pemilu Tahun 2004 ada iklan yang berbunyi “Dalam Pemilu sebelumnnya kita memilih Kucing dalam karung maka kani ini Kucingnya tidak lagi dalam karung” sebagai cara mensosialisasikan bahwa pada Pemilu 2004 memilih langsung siapa orang yang akan jadi Presiden dan wakil Presiden Republik Indonesia.
Doeloe, sewaktu memilih kucing dalam karung kita berspekulatif, kita memilih tapi tidak tahu apakah akan mendapatkan kucing baik atau kucing jelek. Kita hanya bisa melihat ada 3(tiga) karung berwarna hijau, kuning dan merah yang bertuliskan Pilihlah Karung ini! Tanpa tahu kualitas kucingnya.
Pada pilpres 2004 kucingnya tidak lagi dalam karung dan memilih di antara pilihan yang terlihat jelas membuat kita akan leluasa memakai bermacam kriteria dalam memutuskan pilihan, apakah yang berkelamin jantan atau betina, warna belangnya yang merah ngejreng atau kuning yang keemasan atau biru muda yang lembut, bentuk muka dan posturnya yang tegap atau karena bunyi meongnya yang nyaring. Dan bisa juga dengan pertimbangan untuk apa kucing itu kita pilih, apakah akan digunakan sebagai pembasmi tikus atau sekedar dielus-esus!
Dengan terungkapnya aliran dana nonbudgeter DKP harusnya membuat kita rakyat pemilih menyadari dan hati-hati bahwa semua yang ditampilkan oleh pasangan Capres dan Cawapres pada saat kampanye Pilpres (2004 dan nanti 2009) bukanlah sosok Pemimpin Sejati tapi mungkin saja hanya Pemimpi. Mereka adalah Pemimpi tentang pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, Pemimpi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, Pemimpi mengangkat harkat dan martabat bangsa, Pemimpi untuk membuka lapangan kerja guna mengatasi pengguran dan kemiskinan, serta Pemimpin untuk mewujukan keadilan dan kesejaterahan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemimpin yang ketika benar-benar menjadi Pemimpin merasa masih di alam mimpi.
Harusnya kita menyadari dan hati-hati dengan kata Pemimpin karena salah sedikit maka artinya adalah orang yang suka bermimpi, dan mimpinya hanyalah sebatas bunga dalam tidur.
Secara ekstrim mungkin lebih baik kita kembali ke zaman doeloe, memilih kucing dalam karung, spekulatif tetapi masih ada secercah harapan siapa tau dalam karung itu ada yang bagus dan kita beruntung memilihnya, daripada terbuka dan tampak belangnya tetapi tidak satupun yang bisa diharapkan. Seperti kata urang awak “dulu ndak tau nan da dipiliah, antah rancak antah buruak, kini lah dibuka karuangyo, ee ruponyo kuciang aia sadonyo, ado nan lain tapi kuciang ijuak pulo”.

Catatan :

Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Kamis tanggal 31 Mei 2007, Hal 1

Adilkah Pemberian Tunjangan Daerah?

Fenomena pemberian Tunjangan Daerah (Tunda) yang dimaksudkan untuk mensejahterahkan pegawai ternyata mulai menuai protes dan mencuat kepermukaan. Di Kabupaten Agam protes muncul dari para guru yang merasa diperlakukan secara tidak adil. Bupati Agam beberapa waktu lalu pada sebuah koran dalam menjawab SMS Warga mengatakan: “Tunjangan Daerah bisa diterima pada bulan Mei ini, dan hal itu sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap staf dan PNS”. Ternyata bentuk perhatian dari kepedulian pemerintah daerah tidak membuat para Pegawai (PNS/PTT) terutama guru puas.
Tunda Agam perlu Ditunda kata Kasra Scorpi dalam Refleksinya di Haluan Kamis 10 Mei 2007 dalam menyikapi aspirasi yang berkembang dikalangan pendidik Kabupaten Agam. Berdasarkan Keputusan Bupati  Agam Nomor 23/2006, kepala sekolah menerima 200.000/bulan, sementara KTU sekolah menerima Rp. 225.000/bulan, sedangkan guru PNS termasuk guru Bantu menerima Rp. 150.000/bulan, pejabat pemegang eselon ada yang menerima Rp. 2 jutaan/bulan dan potong pajak 15%.
Bukan hanya di Agam di daerah-daerah lain pun kejadiannya hampir serupa, memberikan Tunjangan Daerah dengan alasan meningkatkan kesejaterahan pegawai atau lebih halus sebagai tunjangan beban kerja.
Komposisi/Stuktur pemberian Tunjangan Daerah pun hampir sama yaitu seperti Piramida Terbalik, makin tinggi jabatan struktural atau golongan pangat makin besar tunjangan yang diterima, makin rendah pangkat/golongan ruang makin kecil tunjangan yang diterima. Hal inilah yang menjadi pangkal munculnya permasalahan bagi kalangan staf bawah terutama guru yang tiap bulannya hanya menerima gagi dan tunjangan fungsional, tanpa ada uang pernjalanan dinas atau tambahan lainnya.
Sepintas pemberian tunjangan daerah tersebut merupakan kebaikan/kepedulian Kepala Daerah terhadap seluruh staf/PNS yang berada didaerahnya, memperjuangkan sampai akhirnya bisa memberikan tambahan penghasilan. Wah, Walikotanya baik, Bupatinya hebat!. Itu baru Gubernur!
Tetapi bagi yang berpikir kritis pemberian tunjangan daerah merupakan akal-akalan kelompok tertentu agar dapat menangguk di air jernih, kesempatan emas menaikan pengahasilan secara syah, Ekstrim-nya, pemberian tunjangan daerah merupakan konspirasi antara DPRD dengan Bupati/Walikota/Gubernur bersama Pejabat Pemda (Sekda, Kepala Dinas atau pejabat bereselon). Anggota DPRD (legislatif) mendapat penghasilan melalui berbagai tunjangan seperti representasi, keluarga, beras. pph/khusus, paket, panitia musyawarah, komisi, panitia, anggaran, badan kehormatan, perumahan, dan tunjangan komunikasi, sebagian ada yang menganggarkan pembelian Laptop.
Untuk meloloskan anggaran tersebut maka pihak eksekutif menganggarkan tunjangan daerah, yang intinya adalah merupakan kepentingan kelompok (Kepala Daerah dan Pejabat bereselon di daerahnya) tertentu.
Sistim pemberian tunjangan daerah seperti ini memunculkan kecemburuan, dan pertentangan-pertentangan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya dengan alasan tidak adil. Kelompok yang sangat diuntungkan akan berdalih bahwa keadilan tidak boleh dipandang sama artinya dengan pemerataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang menperoleh bagian yang sama. Wajar saja kami mendapat bagian bersar mengingat tanggungjawab kerja dan jabatan yang diraih susah payah dalam waktu lama.
Kelompok yang menerima lebih kecil mengatakan enak di bapak-bapak saja, urusan gaji, honor dan tunjangan besar ke bapak (atas). Nggak enak buat kami urusan pembagian kerja makin kebawah makin berat.
Terdapat dua perbedaan penafsiran mengenai keadilan sebagaimana diajarkan Aristoteles yaitu Keadilan Distributif dan Keadilan Commutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasa nya.
Tidak setiap orang harus mendapat bagian sama banyak bukan persamaan melainkan ke sebandingan.
Setiap warga negara dapat diangkat dalam jabatan setiap pejabat pemerintah (ayat (3) Pasal 43 UU 39/1999 tentang Hak Azasi Manusia), bukan berarti semua orang dapat diangkat menjadi pejabat eselon II tersebut melainkan berarti bahwa jabatan tersebut diberikan kepada mereka berdasarkan syarat-syarat tertentu dan patut mendapatkannya.
Keadilan commutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan  tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Memang sangat sukar mencari keadilan dimanapun berada diatas dunia ini apalagi jika dilakukan banyak orang, adil bagi si A belum tentu adil bagi si B. sesuatu yang diterima secara gratis pun sering digugat tidak adil, masa Cuma segini.
Bahkan hukum-pun tidak bisa memberikan keadilan itu pada setiap orang, vonis demi keadilan yang dijatuhkan hakim akan diterima berbeda oleh korban dan pelaku.
Melihat fenomena pemberian tunjangan daerah oleh masing-masing pemerintah daerah adalah yang jelas sangat besar perbedaan antara yang diterima pejabat tertinggi dengan staf terendah sehingga jurang pemisah penerimaan penghasilan antara orang yang sama-sama satu kantor itu makin dalam. Jika ditotal, penghasilan resmi dan legal (gaji + tunjangan jabatan ) eselon II sebelumnya berkisar Rp. 4 juta sebulan meningkat 50 persen menjadi 6 juta rupiah, sementara PTT yang sebelumnya Rp. 500 ribu naik 30 persen menjadi 650 ribu rupiah per bulan, tetapi jarak  gaji mereka yang sebelumnya hanya 3,5 juta kini menjadi lebih 5 juta atau lain kata sebulan penghasilan eselon II bisa buat setahun untuk PTT.
Dalam hal ini terlihat lemahnya sensibilitas para pejabat kita terhadap kondisi disekitarnya, terhadap bawahannya seperti itu apalagi terhadap orang yang berada jauh dari kantornya (masyarakat daerahnya). Apakah memang tidak ada lagi rasa kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan semua masyarakat di daerah tersebut. Apakah memang tidak ada lagi rasa kepedulian sesama, atau tidakkah disadari bahwa Anggaran Pendapatan Belanja Daerah itu pada hakikatnya untuk mensejahterahkan semua masyarakat di daerah tersebut.
Karena memang tidak mungkin memberikan rasa adil bagi semua masyarakat, paling tidak dengan itikad baik memberikan keseimbangan dan tidak membuat kesejangan sosial. Bukankah Indonesia yang berkeadilan menurut pembukaan UUD adalah Indonesia yang menjamin terselenggaranya hak-hak setiap warganya dan mampu mencegah terjadinya kesenjangan dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan benegara.
Apakah pantas disaat daerah ini diguncang bencana dan memerlukan banyak bantuan, serta masih banyaknya masyarakat miskin yang belum tertanggulangi, kita ribu-ribut soal komposisi Tunjangan Daerah yang mungkin hanya bisa dinikmati sebagian rakyat daerah ini saja?
Sum mumius, summa iniura, keadilan tertinggi adalah ketidak-adilan yang tertinggi.

Catatan :

Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, Senin tanggal 21 Mei 2007, Hal 1

Hukuman Mati Untuk Pelaku Korupsi Berencana

Salah satu kejahatan yang diancam dengan hukuman mati adalah pembuhuhan berencana sebagaiman dinyatakan dalam pasal 340 KUHP “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Unsur rencana adalah adanya tenggang waktu pendek atau panjang dalam mana dilakukan pertimbangan dan pemikiran yang tenang, pelaku juga dapat memperhitungkan makna dan akibat-akibat perbuatannya dalam suasana kejiwaan yang memungkinkan untuk berpikir (arrest Hoge Reaad 22 maret 1909).
Belakangan warga Sumatera Barat disuguhkan dengan berita terungkapnya kasus-kasus korupsi hampir di setiap daerah Kabupten/Kota; Kabupaten Agam dengan kasus GNHRI. Pasaman dengan kasus Bantuan Depsos, Tanah Datar dengan kasus bagi-bagi Bunga Deposito, Lima Puluh Kota dengan Kasus Pinjam dari Pihak ke-tiga dan kasus-kasus lainnya. Pemunculan kasus-kasus tersebut dilanjutkan dengan langkah progesif pihak Kejaksaan dengan menahan para pelaku, tercatat mulai dari Kepala Dinas hingga Mantan Bupati meringkuk dalam tahanan. Kasus demi kasus tampaknya akan terus bergulir seakan tiada kendali, tanpa pandang bulu Bupati, Sekretaris Daerah, Eselon II, bendahara rutin bahkan staf-pun tak akan luput dari jerat korupsi.
Korupsi berasal dari kata Latin Corruption (kata kerjanya corrumpere) berarti pengrusakan, penghancuran, penyuapan. Tidak ada kata lain didunia ini yang hanya bermakna negatif sebagaimana kata korupsi. Korupsi seperti virus penyakit epidemi yang menular bahkan merasuk ke seluruh aspek kehidupan, bukan hanya di eksekutif, legislatif, yudikatif, sektor swasta bahkan institusi militerpun dijangkiti oleh penyakit korupsi.
Dilihat dari jumlah nominal dari kasus korupsi yang terungkap Sumatera Barat belakangan adalah “sangat kecil” jika dibandingan dengan jumlah nominal hasil korupsi yang luput atau belum disentuh penyidik, yaitu korupsi secara struktural, sistematis dan terencana. Berlabel Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota hampir disetiap daerah telah terjadi pengerogotan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui belanja pegawai. Pengadaan barang dan jasa, tunjangan daerah, kegiatan kepanitiaan dan lain-lain itu terjadi sesaat data menunjukan tingginya jumlah rakyat dan keluarga miskin di Ranah Minang ini.
Indikasi korupsi secara sitematis dan berencana ini dapat dilihat dengan disyahkannya seluruh ABPD Kabupaten/Kota di Sumatera Barat yang rata-rata sebesar Rp. 500 Milyar, tidak satupun ABPD Kabupaten/Kota yang belanja publiknya lebih besar dari belanja pegawai. Rata-rata 70 persen dari keseluruhan dana APBD dipergunakan untuk Belanja Pegawai, sisanya untuk belanja Barang dan Jasa, Bantuan Keuangan, Bantuan Sosial dan Lain-lain. Kalau dicermati lebih dalam, anggaran yang langsung menyentuh masyarakat baik berupa pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial sangat kecil jumlahnya tidak mencapai 10 persen!
Yang paling berpesta pora dalam korupsi berencana adalah para pembuat keputusan, Bupati/Wakil Bupati, Sekda, Pejabat Eselon II (Kepala Dinas). Dari hitung-hitungan kasar kita bisa mengetahui betapa lapok-lapaknya mereka. Kita ambil contoh seorang kepala Dinas atau pejabat eselon II yang mempunyai golongan kepangkatan IV/a, disamping gaji pokok, tunjangan keluarga dan tunjangan beras yang berkisar Rp. 2 juta, setiap bulan juga menerima tunjangan jabatan Rp. 1,5 juta, uang makan R. 10.000/hari (sebulan sekitar Rp. 200 ribu), sebuah mobil plat merah berikut seorang sopir plus BBM perhari sebesar Rp. 100 ribu berikutnya dangan perencanaan yang matang juga melakukan perjalanan dinas luar kota 10 hari X Rp. 300 ribu (sebulan Rp. 3 juta) tunjangan beban kerja (tunjnganan daerah) Rp.2 juta sebagai penanggung jawab kegiatan Rpi. 300 ribu, penanggung jawab anggaran Rp.300 ribu, sehingga take home pay pejabat eselon II setiap bulan nya tidak kurang dari 7,5 juta rupiah tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi ketempat kerja dan tagian telepon. Apalagi kalau dihitung pemasukan seorang Bupati/Walikota, disamping menerima dana taktis, tunjangan kesehatan, tunjangan pakaian masih juga pada posisi pertama dan tertinggi menerima Tunjangan Daerah!. Hal tersebut adalah penghasilan-penghasilan yang ilegal dan syah karena telah ada payung hukumnya baik Peraturan Menteri Keuangan maupun Perda atau Keputusan Kepala Daerah.
Jika semua penghasilan tersebut ada Perda dan Keputusan Bupati/Walikotanya lantas dimana letak korupsi berencana-nya? Hal ini lah yang penting untuk kita ketahui dan telaah dengan cermat, Prof. Mr.Dr. L.J. Van Apeldoom dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum terbitan PT. Pradnya Paramita mengatakan “Juris praecepta sunt haec:honeste vivere, alterum non laedere, sun cuique trubuere” yang artinya peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan patut, tak merugikan orang lain dan memberikan pada orang lain apa yang menjadi haknya. Sejalan dengan pemikiran ilmuwan Belanda tersebut, adanya pemerintahan adalah untuk menyelenggarakan pembangunan disetiap sendi kehidupan untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Lapi pula, hakikatnya Otonomi daerah mengemban misi tanggung jawab pembangunan untuk mensejaterahkan masyarakat di daerahnya masing-masing. Sejak otonomi daerah mulai dilaksanakan pada Januari tahun 2001 juga dilaksanakan kebijakan desentralisasi fiskal yang membawa perubahan peta pengelolaan fiskal sehingga uang yang berputar tidak lagi terpusat di Jakarta dan pada gilirannya ada perbaikan perekonomian rakyat. Untuk itu Pemerintah dalam hal ini Bupati/Walikota beserta jajarannya bersama-sama DPRD diberi wewenang menyusun dan mengesahkan APBD. Kenyataan yang kita lihat saat ini adalah Bupati/Walikota bersama-sama DPRD dengan secara sadar dan terencana merancang dan mengesahkan serta menghabiskan APBB, yang jelas-jelas tidak berdampak banyak untuk kesejaterahan masyarakat, tidak berdampak banyak untuk mengatasi kebodohan dan kemiskinan.
Mungkin di Sumatera Barat yang kita cintai sangat jarang ada orang mati karena tidak makan, tetapi banyak orang mati bunuh diri karenan masalah ekonomi, karena beratnya resiko bertahan untuk hidup atau mencari upah untuk makan sangat gampang untuk dilihat, rumah-rumah penduduk yang masih berlantai tanah, berdinding bambu dan beratap rumbia, rumah penduduk di daerah rawan bencana sangat banyak pada Kabupaten / Kota. Tidakkah disadari bahwa hal tesebut langsung maupun tidak langsung telah dengan sengaja dan terencana mencabut kesempatan hidup orang lain, atau dengan kalimat halus dengan sengaja membiarkan orang lain dalam resiko kematian. Di sini kita melihat bahwa mentalitas yang lemah pejabat kita karena tidak memiliki sensilibilitas terhadap kondisi di sekitarnya misalnya masih banyaknya keluarga miskin di daerahnya atau nasib pegawai/staf rendahan yang berada di bawahnya.
Berpedoman pada pasal 340 KUHP, karena APBD tersebut nyata-nyata dirancang, dibuat dan disusun tetapi tidak berpihak kepada kondisi masyarakat saat ini dililit kemiskinan, lantas disyahkan dan dipakai juga maka unsur menghilangkan nyawa (kesempatan hidup), dengan rencana dan sengaja terpenuhi. Dan para pejabat yang bertanggung jawab dalam proses pembuatan hingga pengesahan APBD terseut pantas diberi hukuman mati.
Awalnya kita optimis dengan berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi Korupsi, membuat undang-undang Tidank Pidana Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di samping Perangkat-perangkat yang telah ada seperti KUHP, Kejaksaan, Polisi, Peradilan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan disetiap daerah juga telah ada Badan Pengawas Daerah atau Inspektorat, Tetapi, mengapa belum juga bisa mewujudkan pemberantasan korupsi secara nyata dengan langkah-langkah secara tegas dan tidak pandang bulu. Apakah perangkatnya kurang ? tidak. Apakah tidak ada tauladan? juga tidak, karena kita pernah punya Muhammad Hatta yang hidup sederhana walau dia seorang Proklamator dan Wakil Presiden.
Atau mungkinkah kita memerlukan sosok Zhu Rongji yang terkenal karena ketika menjadi Perdana Menteri Cina berhasil menjadikan Cina sebagai Negara paling aman untuk berinvestasi dengan memesan 100 peti mati (salah satu untuk dirinya sendiri) untuk pejabat pemerintah Cina yang terbukti melakukan korupsi?.
Entahlah, yang jelas pelaku korupsi harus dihukum berat, apalagi para pelaku yang melakukan korupsi secara sistematis dan terencana sangat pantas untuk dihukum mati.

Catatan :
Tulisan ini dimuat di Harian Haluan, edisi Kamis tanggal 10 Mei 2007, Hal 5